0
WMN 2015 -- Dalam Islam terdapat berbagai aliran mazhab. Setiap mazhab memiliki metodologi ijtihad dan hasil ijtihad masing-masing. Pengikut alam mazhab tersebut ada yang toleran terhadap mazhab lain, ada juga yang sangat fanatik. Untuk yang kedua ini biasanya menjadikan mazhabnya sebagai satu-satunya rujukan dalam berbagai hal. Ia tidak mau menoleh terhadap mazhab lainnya.




Menurut Muhammad al-Ghazali, fanatisme mazhab banyak mengandung nilai negatif. Pengikut mazhab yang hanya berkutat pada mazhabnya sendiri bisa jadi dalam suatu permasalahan tertentu akan merasa berat, membingungkan, dan bahkan dapat menimbulkan mudarat. Jika umat ini selalu tidak bersatu , maka “orang lain” akan memandang bahwa umat Islam adalah umat yang selalu terpecah belah. Dengan demikian, banyak orang di luar Islam menjadi tertarik dengan Islam.

Suatu kali, Muhammad al-Ghazali mendengar salah seorang santri bertanya kepada Kiai penganut fanatik mazhab Syafi’i tentang makanan yang terkena tetesan anggur. Kiai itu menjawab bahwa makanan tersebut harus dibuang karena sudah tercampur dengan barang haram. Muhammad al-Ghazali juga pernah mendengar salah seorang santri bertanya kepada Kiai penganut fanatik mazhab Hambali tentang boleh tidaknya perkawinan yang berbeda mazhab. Kiai tersebut menjawab bahwa hukum perkawinan tersebut tidak boleh karena antara keduanya terdapat perbedaan cara ibadah dan cara berpikir. Perkawinan beda mazhab menurutnya hanya akan menimbulkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga.[1]

Mendengar berbagai pandangan di atas, Muhammad al-Ghazali merasa terkejut dan heran. Jika demikian, betapa sulit dan kakunya agama Islam ini. Padahal Rasul sendiri tidak mempersulit umatnya dalam melakukan ibadah. Kasus di atas hanya sekadar contoh sederhana yang terjadi dalam masyarakat Islam. Muhammad al-Ghazali masih sering melihat persoalan lain yang menjadi penyakit umat karena fanatisme mazhab yang berlebihan.

Menurutnya, ada dua hal penting yang menyebabkan timbulnya fanatisme mazhab. Pertama, lemahnya ilmu dan kurangnya wawasan keislaman. Kedua, akibat kebodohan tersebut, timbul sifat lain yaitu buruk sangka dan penyakit hati lainnya. Muhammad al-Ghazali pernah melihat kasus lain. Di salah satu masjid di Kairo, ada seorang laki-laki yang terlambat shalat jamaah. Laki-laki tersebut tidak memakai peci. Salah seorang dari jamaah shalat memukul kepala laki-laki tadi sambil mengatakan bahwa kepala adalah aurat dalam shalat. Sikap seperti ini muncul karena kedangkalan ilmu seorang. Ia melihat orang lain sesuai dengan keyakinannya. Maka ia akan selalu memandang salah terhadap perilaku orang lain yang berbeda dengannya. Dalam hatinya sudah tertanam penyakit hati yang jika dibiarkan dapat merusak tatanan sosial dan menimbulkan keretakan dalam masyarakat Islam.[2]


Penulis:
Ust. Wahyudi Abdurrahim, LC.
(PCIM Mesir)

Catatan Kaki
[1] Muhammad al-Ghazali, Dustûru’l Wihdah al-Tsaqâfiyyah bayna’l Muslimîn, Dâr al-Qalam, Damaskus, 1998, hal. 96
[2] Ibid., hal. 98. Lihat juga, Muhammad al-Ghazali, Laisa min’l Islâm,Dâr al-Kutub al-Hadîts, Kairo, 1963, hal. 134

Post a Comment

Mari tinggalkan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan karena Tulisanmu Harimaumu. Komentar Sobat adalah Pendapat Pribadi, tidak mewakili Pendapat Redaksi Website Mentari News (WMN). Komentar yang mewakili redaksi Website Mentari News hanya melalui akun Mentari News. Selamat Berkomentar Sobat.. Salam Indonesia Berkemajuan.

Note: only a member of this blog may post a comment.

 
Top