0
WMN 2015 -- Kita bersyukur bahwa pada penetapan 1 Syawal 1436H (17 Juli 2015) lalu tidak terjadi perbedaan yang terlalu mengganggu ukhuwah Islamiyah umat Islam Indonesia. Dua organisasi besar umat Islam di Indonesia, Muhammadiyah dan NU, bersama-sama dengan pemerintah sepakat untuk ber-Iedul Fitri pada 17 Juli 2015. 


Padahal pada beberapa hari sebelumnya (8 Juli 2015), Ketua LAPAN, Prof. Thomas Djamaluddin (TD) memberikan pendapat yang dikutip oleh Merdeka.com dan menyatakan "Lapan sebut Idul Fitri kemungkinan jatuh tanggal 18 Juli 2015”. 

Pendapat ini berdasarkan analisis TD dengan menggunakan hanya 11 data pengamatan hasil rukyat Departemen Agama (1962-1997). Sebetulnya ada 38 data pengamatan, namun hanya 11 yang dianggap tanpa bias. Dari hasil pengamatan inilah muncul Kriteria Imkan-Rukyat (IR) LAPAN yang berujung pada persyaratan minimum ketinggian hilal 4 derajat dan elongasi (jarak antara Bulan dan Matahari) minimum 6,4 derajat. Hanya PERSIS yang pada 1 Juni 2015 secara resmi telah mengumumkan Iedul Fitri akan jatuh pada 18 Juli 2015 berdasarkan kriteria IR-LAPAN ini, meskipun secara resmi sebetulnya pemerintah telah mengadopsi kriteria IR-MABIMS 2-3-8 (tinggi hilal minimum 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur hilal sejak ijtimak 8 jam). Untung, PERSIS kemudian mengkoreksi keputusannya tersebut setelah perukyat di beberapa tempat di Jawa bersedia disumpah telah melihat hilal pada maghrib 16 Juli lalu. Saya memperoleh kesan bahwa kriteria IR-LAPAN ini sedikit gegabah. 

Pertama:
Harus dipertanyakan, apakah betul ini merupakan hasil penelitian LAPAN sebagai institusi? Kalau memang demikian, kita harus dapat melacak apakah betul sumber dana penelitian ini resmi merupakan dana penelitian LAPAN dari sumber RAPBN yang disetujui oleh DPR? Siapakah tim penelitinya selain TD? Kalau ini hanya merupakan hasil penelitian TD sebagai Ketua LAPAN, apakah memang boleh Ketua LAPAN mengatasnamakan lembaga tempat dia bekerja? 

Kedua:
Data yang digunakan adalah hanya 11 data hasil pengamatan (5 pengamatan awal Ramadan dan 6 awal Syawal), tampaknya kurang komprehensif untuk menghasilkan sebuah hasil penelitian yang representatif.

Ketiga:
Pengumuman hasil penelitian ini tidak didahului melalui uji akademis di hadapan para pakar hisab nasional (syariah, astronomi, fisika, matematik geodesi, dll), padahal ini menyangkut sah tidaknya akhir sebuah prosesi ibadah ratusan juta umat Islam Indonesia. Pengujian akademis hanya di hadapan ahli astronomi saja tidak cukup karena masih banyak ilmu-ilmu lain yang terkait dengan astronomi yang terlibat dengan cara perhitungan hisab agar hasilnya betul-betul adil dan tidak menyalahi kaidah saintifik yang terpercaya. 

Keempat: 
TD seharusnya sadar bahwa dengan menggunakan kriteria IR MABIMS saja, sering terjadi perbedaan. Apalagi jika menggunakan kriteria IR LAPAN yang dua kali lebih besar. Dengan upaya merevisi kritria MABIMS dengan kriteria yang lebih memperuncing perbedaan ini, jadi sebetulnya siapa yang tafarruq?

Domain syariah dan saintifik

Banyak orang mengira bahwa imkan-rukyat adalah representasi sunnah yang harus diikuti dan harus diterima tanpa pertanyaan akan rasionalitasnya. Pendapat seperti ini sebetulnya keliru. Sunnah Rasul yang menyangkut domain syariah sebetulnya hanya dua, yaitu rukyat dan hisab. Hadis-hadis rukyat yang diikuti oleh perintah menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari (istikmal) diriwayatkan oleh dua perawi yaitu Ibnu Abbas dan Abu Hurairah. Sedangkan hadis-hadis rukyat yang diikuti dengan perintah menghisab (faqdurulahu) diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ketiga kelompok hadis ini sama-sama merupakan hadis yang sahih (dapat dipercaya). Namun, ketika perintah kewajiban puasa diturunkan pada tahun 2H, Ibnu Abbas baru berumur sekitar 4 tahun. Beliau sendiri bersama orang tuanya tidak ikut hijrah ke Madinah saat Rasul diperintah hijrah pada tahun 1H. Sementara itu, Abu Hurairah baru masuk Islam pada sekitar tahun 7H, atau sekitar 3 tahun sebelum Rasul wafat. 

Dengan demikian meskipun hadis-hadisnya sahih, Ibnu Abbas dan Abu Hurairah tidak pernah mendengar hadis perintah puasa langsung dari Rasul. Untuk itulah hadis rukyat yang diikuti dengan perintah menghisab (faqdurulahu) dengan perawi Ibnu Umar dianggap memiliki maqam yang lebih tinggi karena Ibnu Umar adalah sahabat Rasul yang ikut berjuang pra-hijrah di Mekah, ikut hijrah dari Mekah ke Madinah, dan paska hijrah di Madinah.

Jadi IR sebetulnya adalah interpretasi saintifik yang berupaya mengkompromikan cara perhitungan astronomis (hisab) dengan metoda rukyat yang melihat hilal dengan mata oleh sahabat di zaman Rasul. Itulah sebabnya, hasilnya adalah kriteria-kriteria IR (kemungkinan dapat dilihat) seperti kriteria 2-3-8 MABIMS seperti disebutkan di atas. Dengan demikian, penyanggahan atas kriteria IR adalah murni domain saintifik, sama sekali tidak ada kaitan dengan domain syariah. Dua hari setelah TD mengeluarkan pendapatnya melalui Merdeka.com, saya mengeluarkan pengujian saintifik atas penyataannya dan saya muat dalam blog saya ini.

Space Scale

Sebetulnya, secara saintifik, metoda IR ini bermuara pada hasil penelitian ahli astronomi Perancis, Andre-Louis Danjon, yang mempublikasikan hasil penelitiannya pada awal tahun 1930-an. Penelitian Danjon menyimpulkan bahwa agar sebuah anak Bulan (hilal) dapat dilihat, maka sudut elongasinya harus minimum 7 derajat. Tidak ada syarat lain seperti ketinggian dan umur hilal. Penelitian ini sebetulnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan persyaratan nampaknya hilal sesuai dengan kaidah-kaidah syar’i untuk penentuan awal bulan qamariyah dalam Islam. Danjon sendiri bukan seorang Muslim. Adalah sarjana astronomi Muslim yang kemudian mengkaitkan itu dengan persyaratan syar’i penentuan awal bulan Islam dengan menambahkan syarat tambahan berupa ketinggian minimum hilal terhadap ufuk dan umur anak Bulan minimum. Maka lahirlah kriteria Odeh (Jordania), Turki, Arab Saudi, dan MABIMS (Malaysia, Brunei, Indonesia, dan Singapura), yang semuanya bervariasi dan diklaim sebagai hasil penelitian yang panjang.

Dua hari setelah TD berpendapat di Merdeka.com, saya melakukan analisis dan ternyata syarat IR-LAPAN ini sangat tidak konsisten dengan kaidah-kaidah saintifik yang standar. Bahkan syarat ini tidak sesuai dengan logika awam yang sangat mendasar. Misalnya:

Pertama, 
Saat Matahari tenggelam jam 17:53 (waktu Jakarta) pada 16 Juli 2015 lalu, ketebalan hilal adalah sekitar 0,08 menit. Bulan sendiri tenggelam pada sekitar jam 18:08 (15 menit setelah Matahari tenggelam), dan hilal sebetulnya semakin membesar dengan pertumbuhan 0,02 menit per jam. Ini berarti, sekitar 4 jam kemudian pada jam 22:37, ketebalan hilal dengan referensi Jakarta adalah 0,17 menit meskipun tidak tampak karena Bulan tertutup oleh bola Bumi. Di detik yang sama, di Dodoma (Tanzania) adalah waktu maghrib pada waktu lokal jam 18:37. Hilal saat itu memiliki ketinggian 4,8 derajat dan ketebalan 0,13 menit. Anehnya, hilal di Dodoma yang tebalnya hanya 0,13 menit diakui sebagai hilal untuk memulai awal Syawal pada 17 Juli, tetapi di Jakarta yang tebalnya telah 0,17 menit tidak diakui karena tidak tampak (terhalang bola Bumi).

Kedua,
Pada saat maghrib di Luanda (Angola) jam 18:03 16 Juli 2015, hilal berada pada ketinggian 5,8 derajat dengan ketebalan 0,15 menit. Di Jakarta, di detik yang sama kita telah masuk tanggal 17 Juli 2015 jam 24:03, dan hilal telah miliki ketebalan 0,21 menit. Sekali lagi, hilal di Luanda yang tebalnya hanya 0,15 menit diakui sebagai hilal, tapi hilal di Jakarta yang tebalnya 0,21 menit tidak diakui sebagai hilal hanya karena tidak tampak (masih terhalang bola Bumi).

Ketiga, 
Saat jam 6:23 pagi jam 17 Juli 2015, sebetulnya hilal telah terbit kembali di ufuk Timur Jakarta. Namun, Matahari telah terbit jam 6:04 sehingga hilal tetap tidak tampak meskipun ketebalannya sudah sekitar 0,34 menit. Di detik yang sama, di Quito (Uruguay) saat itu maghrib jam 18:23 tanggal 16 Juli 2015. Saat itu, hilal di Quito memiliki ketinggian 10,8 derajat dan ketebalan 0,27 menit. Dengan demikian, sebetulnya hilal sekarang berada di bola langit yang sama antara Quito dan Jakarta meskipun di Quito masih maghrib 16 Juli sedangkan di Jakarta sudah tanggal 17 Juli pagi. Tapi tetap, hilal setebal 0,34 menit di Jakarta tidak boleh disebut hilal karena kalah oleh intensitas sinar Matahari (tidak tampak), sementara di Quito meskipun tebalnya hanya 0,27 menit diakuai sebagai hilal.

Sekarang lihat perbandingkan berikut. Dalam space scale, jika jarak Jakarta ke tiga kota tersebut (Dodoma, Luanda, dan Quito) kita skala seperti jarak antara kedua mata kita yang sekitar 7 cm, maka jarak Bumi ke Bulan hanya sekitar 3 meter. Letakkan sebuah kertas bertulisan “hilal” pada jarak sekitar 3 meter dari mata kita, dan tutup salah satu mata kita dengan perban. Apakah kita tetap akan menolak tulisan “hilal” itu hanya karena yang mampu melihat tulisan itu mata kiri, sedangkan mata kanan kita tertutup perban? Penolakan seperti ini sungguh tidak masuk akal dengan kemampuan kognitif manusia.

JIka kita melakukan sampling di sebanyak mungkin titik di atas permukaan Bumi seperti dicontohkan di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa sains dan teknologi sebetulnya telah mampu membuktikan kehadiran hilal selama sekitar 23 jam 45 menit antara dua maghrib 16 dan 17 Juli 2015. Hanya dalam rentang waktu yang 15 menit saja (antara maghrib dan Bulan tenggelam pada 16 Juli lalu), sains dan teknologi dianggap (oleh kriteria IR LAPAN) tidak akan mampu memverifikasi kehadiran hilal. Jadi, bagaimana mungkin fakta yang hanya sekitar 1% ini dapat menganulir fakta saintifik yang sekitar 99%? Nah, pengujian-pengujian akademis yang lintas disiplin seperti inilah yang sebetulnya harus dilakukan oleh LAPAN dengan mengundang semua pemangku kepentingan agar keputusan saintifiknya betul-betul kredibel. Pertanyaan-pertanyaan untuk memuaskan logika awam seperti di atas harus dapat dijawab secara saintifik.

Kalender Islam Global

Jelaslah bahwa dalam memahami kehadiran hilal, umat Islam harus berfikir dalam domain space (ruang angkasa). Jika kerangka berfikir kita masih lokal, maka bagaimanapun perbaikan kriteris IR dilakukan, maka ia akan tetap bermasalah dan tidak akan konsisten dengan kaidah saintifik yang baku dan adil.

Pertanyaannya, apakah imkan-rukyat masih relevan? Ya, ia masih relevan seandainya diaplikasikan dalam kerangka Kalender Islam yang universal. Ini sesuai dengan sifat Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yang universal, yang tidak disekat dalam domain politik yang sangat rentan dan dapat berubah setiap saat. Ingat, negara superpower seperti Uni Sovyet pun bisa hancur berekping-keping menjadi negara-negara Balkan seperti saat ini. Sebaliknya, sebuah negara yang berdaulat saat ini dapat saja diokupasi oleh negara lain yang letak geografisnya ribuan kilometer di masa yang akan datang. Dengan demikian, penyusunan Kalender Islam harus terbebas dari political interest, dari sekat-sekat politik.

Saat ini, beberapa negara Eropa telah memulai mengaplikasikan Kelender Islam Global berdasarkan kriteria IR yang global. Jika ada satu titik saja di muka Bumi ini yang telah memenuhi syarat imkan-rukyat global, maka seluruh dunia telah dianggap masuk ke bulan Islam baru. Gerakan yang dimotori oleh President European Council for Fatwa and Research (ECFR), Prof. Yusuf Qaradawi, telah mempu menyatukan beberapa negara di Eropa. Perancis, Jerman, Irlandia, Itali, Luxemburg, dan Turki telah mengadopsi kriteria ini. Jumlah negara-negara ini semakin bertambah setiap tahun karena mereka semakin menyadari prinsip space domain dalam penyusunan Kalender Islam yang tidak boleh lagi terkotak-kotak dalam bingkai teritori politik. KriteriaIR yang diadopsi saat ini adalah: Somewhere on the globe, altitude > 5°, elongation > 8°.

Sudah saatnya dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU memotori penyusunan Kalender Islam yang universal ini. Hikmah sosialnya, tidak akan ada yang dipermalukan, termasuk pemerintah Indonesia (Departemen Agama dan MUI). Kriteria imkan-rukyat tetap berlaku, namun kriteria ini kemudian ditarik ekstrim ke arah Barat. Inilah momentum untuk menyatukan semua kepentingan dengan bingkai terbentuknya Kalender Islam Global. Masih ada beberapa detil persyaratan yang harus didiskusikan oleh para pakar hisab pemerintah dan organisasi Islam yang ada. Namun, itu akan terlalu teknis didiskusikan dalam forum untuk pembaca umum seperti Koran dan majalah umum. Jika ini dapat diterima, maka insya Allah, sebuah Kalender Islam pemersatu umat akan terbentuk. Bukan saja pemersatu umat Islam Indonesia, tapi juga merupakan pemersatu umat Islam dunia. Semoga bermanfaat. 

Ditulis oleh: 
Prof. Tono Laksono
(Diambil dari Blognya di cis-saksono.blogspot.com)

Post a Comment

Mari tinggalkan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan karena Tulisanmu Harimaumu. Komentar Sobat adalah Pendapat Pribadi, tidak mewakili Pendapat Redaksi Website Mentari News (WMN). Komentar yang mewakili redaksi Website Mentari News hanya melalui akun Mentari News. Selamat Berkomentar Sobat.. Salam Indonesia Berkemajuan.

Note: only a member of this blog may post a comment.

 
Top