mentarinews.co.id -- Subasita
adalah unggah-ungguh, tatakrama atau sopan santun. Orang yang tidak
tahu subasita dikatakan sebagai orang yang “degsura” atau kurang ajar,
tidak tahu tatakrama.
Pada umumnya orang Jawa dianggap sopan-santunnya tinggi. Sampai ada banyolan, khususnya ditujukan orang Jogja, dalam memberitahu orang yang menginjak kakinya pun masih pakai “nuwun sewu”.
Mengenai “Subasita Jawa” saya baca di “Serat Subasita” yang dikarang oleh Ki Padmasusastra Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, terbitan Pangecapan (Percetakan) Budi Utama di Surakarta pada tahun 1914. Isinya adalah kumpulan tatakrama Jawa yang dalam pendahuluan disebutkan oleh Ki Padmasusastra sebagai berikut:
Sêrat Subasita punika kalêmpaking tatakrama Jawi sawatawis campuripun kalihan tatakrama Walandi supados kenging kapirit ingkang taksih pantês kalêstantunakên utawi botên, awit kêncênging tatakramanipun tiyang Jawi kêndho dening pasrawungan kalihan tatakramanipun tiyang Walandi, punika ingkang murba misesa panggêsanganipun têtiyang Jawi, wajib dipun lampahi.
Pengertiannya kurang-lebih adalah tatakrama Jawa bagaimanapun terpengaruh oleh tatakrama Belanda. Mengingat orang Jawa (saat itu tahun 1914) kehidupannya dikuasai Belanda, maka tatakrama Belanda juga perlu diikuti. Bagaimanapun harus dipilah tatakrama Jawa yang masih bisa dilestarikan karena sebagian telah luntur akibat pergaulan dengan orang Belanda.
Menurut pendapat memang ada beberapa bagian dalam Serat Subasita yang sudah tidak bisa dipakai pada abad 21 ini. Misalnya dalam hal menghormat orang yang lebih tinggi kapan kita harus berdiri, kapan kita harus jongkok. Rasanya sekarang sudah tidak ada lagi orang Jongkok. Jaman saya kecil memang pembantu di rumah selalu bersimpuh di lantai kalau dipanggil Ibu. Sekarang mana ada pembantu jongkok di lantai.
Demikian pula ada beberapa hal yang harus disesuaikan, misalnya mengenai pakaian. Kapan kita berpakaian ala Belanda, kapan kita berpakaian ala Jawa. Dua-duanya bagus. Berpakaian seperti Belanda kelihatan “bregas” (gagah) sedangkan berpakaian Jawa dikatakan “merak ati” (manis, menarik).
Urusan tatakrama batuk, bersin, buang ingus dan meludah sudah menjadi perhatian, dikaitkan dengan sopan santun dan kesehatan. Hal tersebut masih menjadi masalah pada masa ini. Ketika pandemi “Influenza H1N1 Baru” yang dikenal umum sebagai Flu Babi merajalela di dunia, kita benar-benar susah payah memberikan penyuluhan etika batuk dan bersin yang benar.
Hal lain yang menarik adalah budaya Jawa sebenarnya menghormati wanita. Salah satunya adalah: Dilarang merokok di dekat wanita. Alasannya sederhana saja, tidak sopan dan membuat sesak napas. Pada masa itu (tahun 1914) belum ada pengetahuan bahwa wanita yang merokok aktif atau merokok pasif (tidak merokok tetapi terexpose asap rokok, bisa karena dekat suaminya yang perokok ada berada di tempat umum yang penuh asap rokok) berpotensi melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (di bawah 2500 gram).
Subasita Jawa juga bersifat akomodatif. Maksudnya, kalau ada orang dengan budaya lain maka harus kita hormati. (iwanmuljono)
Artikel Ini Bersambung, baca berikutnya (klik di sini)
Pada umumnya orang Jawa dianggap sopan-santunnya tinggi. Sampai ada banyolan, khususnya ditujukan orang Jogja, dalam memberitahu orang yang menginjak kakinya pun masih pakai “nuwun sewu”.
Mengenai “Subasita Jawa” saya baca di “Serat Subasita” yang dikarang oleh Ki Padmasusastra Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, terbitan Pangecapan (Percetakan) Budi Utama di Surakarta pada tahun 1914. Isinya adalah kumpulan tatakrama Jawa yang dalam pendahuluan disebutkan oleh Ki Padmasusastra sebagai berikut:
Sêrat Subasita punika kalêmpaking tatakrama Jawi sawatawis campuripun kalihan tatakrama Walandi supados kenging kapirit ingkang taksih pantês kalêstantunakên utawi botên, awit kêncênging tatakramanipun tiyang Jawi kêndho dening pasrawungan kalihan tatakramanipun tiyang Walandi, punika ingkang murba misesa panggêsanganipun têtiyang Jawi, wajib dipun lampahi.
Pengertiannya kurang-lebih adalah tatakrama Jawa bagaimanapun terpengaruh oleh tatakrama Belanda. Mengingat orang Jawa (saat itu tahun 1914) kehidupannya dikuasai Belanda, maka tatakrama Belanda juga perlu diikuti. Bagaimanapun harus dipilah tatakrama Jawa yang masih bisa dilestarikan karena sebagian telah luntur akibat pergaulan dengan orang Belanda.
Menurut pendapat memang ada beberapa bagian dalam Serat Subasita yang sudah tidak bisa dipakai pada abad 21 ini. Misalnya dalam hal menghormat orang yang lebih tinggi kapan kita harus berdiri, kapan kita harus jongkok. Rasanya sekarang sudah tidak ada lagi orang Jongkok. Jaman saya kecil memang pembantu di rumah selalu bersimpuh di lantai kalau dipanggil Ibu. Sekarang mana ada pembantu jongkok di lantai.
Demikian pula ada beberapa hal yang harus disesuaikan, misalnya mengenai pakaian. Kapan kita berpakaian ala Belanda, kapan kita berpakaian ala Jawa. Dua-duanya bagus. Berpakaian seperti Belanda kelihatan “bregas” (gagah) sedangkan berpakaian Jawa dikatakan “merak ati” (manis, menarik).
Urusan tatakrama batuk, bersin, buang ingus dan meludah sudah menjadi perhatian, dikaitkan dengan sopan santun dan kesehatan. Hal tersebut masih menjadi masalah pada masa ini. Ketika pandemi “Influenza H1N1 Baru” yang dikenal umum sebagai Flu Babi merajalela di dunia, kita benar-benar susah payah memberikan penyuluhan etika batuk dan bersin yang benar.
Hal lain yang menarik adalah budaya Jawa sebenarnya menghormati wanita. Salah satunya adalah: Dilarang merokok di dekat wanita. Alasannya sederhana saja, tidak sopan dan membuat sesak napas. Pada masa itu (tahun 1914) belum ada pengetahuan bahwa wanita yang merokok aktif atau merokok pasif (tidak merokok tetapi terexpose asap rokok, bisa karena dekat suaminya yang perokok ada berada di tempat umum yang penuh asap rokok) berpotensi melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (di bawah 2500 gram).
Subasita Jawa juga bersifat akomodatif. Maksudnya, kalau ada orang dengan budaya lain maka harus kita hormati. (iwanmuljono)
Artikel Ini Bersambung, baca berikutnya (klik di sini)

Post a Comment
Mari tinggalkan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan karena Tulisanmu Harimaumu. Komentar Sobat adalah Pendapat Pribadi, tidak mewakili Pendapat Redaksi Website Mentari News (WMN). Komentar yang mewakili redaksi Website Mentari News hanya melalui akun Mentari News. Selamat Berkomentar Sobat.. Salam Indonesia Berkemajuan.
Note: only a member of this blog may post a comment.