mentarinews.co.id -- Mungkin seluruh warga Jakarta ini pernah melewati Jalan Daan Mogot. Tapi tahukah Anda nama itu sesungguhnya diambil dari nama seorang pahlawan yang baru berusia 17 tahun?
Jalan Daan Mogot Jakarta Barat adalah jalan panjang yang mengkoneksikan antara Provinsi DKI Jakarta dengan Tangerang, Banten. Jalan ini memiliki sejarah yang unik dan berbau perjuangan kemerdekaan.
Diambil dari nama Elias Daniel Mogot, atau dikenal sebagai Daan Mogot, pemuda “kawanua” Manado. Kalau Sobat mengenal Irjen Gordon Mogot atau Kolonel Alex Kawilarang (Mantan Panglima Kodam Siliwangi), nah keduanya masih bertalian saudara dengan tokoh perjuangan kita ini.
Kisah Daan Mogot sesingkat umurnya. Namun meski singkat, tapi kisah hidupnya memiliki peranan yang sangat penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Mulai bergabung dalam dunia ketentaraan di usia sangat belia yakni 14 tahun, atau tepatnya pada tahun 1942. Ia masuk PETA (Pembela Tanah Air), tentara binaan di era penjajahan Jepang. Tentu saja usianya tidak memenuhi kualifikasi syarat 18 tahun. Tapi dikabarkan karena perawakannya besar dan memiliki sifat kedewasaan pihak Jepang percaya saja bahwa Daan Mogot sudah berusia 18 tahun.
Daan Mogot pernah berperang di Bali. Di situlah ia berkenalan dan akrab dengan Kemal Idris dan Zulkifli Lubis. Daan Mogot juga pernah dipercayakan sebagai instruktur PETA wilayah Bali dan Jakarta. Tanggal 15 Agustus 1945 Jepang pun keok dari Sekutu. Dua hari kemudian Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945. Tahun 1945 atau hanya dalam waktu dua tahun saja, pangkat Daan Mogot sudah Mayor dan ditunjuk sebagai Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR, atau cikal-bakal TNI-red) Jakarta.
Dalam usia belia itu ia kemudian juga mendapatkan kepercayaan menjadi Direktur akademi militer awal-awal di Indonesia yang berkedudukan di Tangerang, Akademi Militer Tangerang (MAT) namanya. Ide pendirian MAT memang salah satunya datang dari Daan Mogot. Gagasan tersebut diterima oleh pimpinan besar militer pusat Indonesia. Kemudian diangkatlah Daan Mogot menjadi Direktur MAT pertama pada tanggal 18 November 1945.
Sayangnya jabatannya itu adalah jabatannya yang tertinggi sekaligus terakhir dalam kisah karir militer anak muda belia tersebut. Pada tanggal 25 Januari 1946, ia dinyatakan gugur dalam pertempuran sengit di Hutan Lengkong Tangerang, Banten. Begini kisahnya, pada tanggal 24 Januari 1946, Mayor Daan Mogot mendapatkan kabar kalau Belanda segera akan menuju ke Tangerang untuk melucuti persenjataan tentara Jepang di Lengkong.
Tentu saja rencana Belanda itu jika berhasil akan menodai kedaulatan Indonesia, sekaligus mengancam keberadaan MAT dan Resimen IV TKR Tangerang. Untuk itu Komandan Resimen IV Tangerang, Letkol Singgih, memanggil Mayor Daan Mogot untuk membantu memperkuat Resimen tersebut.
Pada tanggal 25 Januari 1946 berangkatlah pasukan yang terdiri dari 70 orang taruna siswa MAT pimpinan Mayor Daan Mogot ke markas tentara Jepang di Lengkong. Salah satu taruna diketahui adalah anak kandung H. Agus Salim, tokoh perjuangan bangsa. Maksudnya adalah untuk mendahului tentara Belanda melucuti pasukan Jepang di Tangerang. Jadi harus Indonesia yang melakukannya. Ini demi kedaulatan bangsa yang baru saja merdeka.
Sampailah pasukan muda itu di markas tentara Jepang. Dikabarkan Tentara Jepang sebenarnya sangat hormat dan salut dengan keberanian tentara-tentara “taruna” yang datang ke markas mereka. Dipersilahkanlah masuk ke markas Mayor Daan Mogot yang didampingi Mayor Wibowo dan salah satu taruna oleh Kapten Abe pimpinan di sana. Untuk sementara pasukan taruna di luar dipimpin oleh Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo.
Berdialoglah Mayor Daan Mogot dengan Kapten Abe. Namun urusan pelucutan senjata, Kapten Abe tidak setuju mengingat belum ada perintah dari atasannya. Sementara Kapten Abe menghubungi atasannya, ternyata pasukan taruna merangsek masuk ke barak-barak dan melakukan pelucutan senjata.
Awalnya berjalan dengan lancar, namun tiba-tiba terdengar letusan senjata yang tidak diketahui berasal dari mana. Sontak tentara-tentara Jepang yang berada di pos penjagaan memuntahkan peluru mereka ke arah para pasukan taruna. Tentu saja posisi pasukan taruna tidak menguntungkan. Mereka menjadi “sitting duck”, alias bulan-bulanan peluru tentara Jepang.
Lalu terjadilah pertempuran sengit saling jual beli tembakan. Kagetlah Mayor Daan Mogot dan segera berhambur keluar ruangan untuk menghentikan pertempuran. Sayang sekali tidak digubris. Lalu Mayor Daan Mogot beserta pasukan taruna yang tersisa melarikan diri ke hutan Lengkong dan melakukan perlawanan sengit. Persenjataan yang tidak berimbang membuat banyak pasukan taruna yang mati tertembak, termasuk Mayor Daan Mogot.
Tercatat 33 taruna dan 3 perwira gugur dalam pertempuran tak imbang itu. Hanya 3 taruna yang berhasil menyelamatkan diri, sisanya ditawan oleh Pasukan Jepang. Kini, jenazah para pahlawan-pahlawan muda itu dimakamkan di dekat penjara khusus anak-anak di Tangerang. Dikabarkan kekasih Mayor Daan Mogot, Hadjari Singgih, sangat sedih dengan gugurnya pria idamannya itu.
Sebagai bentuk rasa cinta dan kehilangannya yang mendalam, Hadjari sampai harus memotong rambutnya yang panjang dan indah itu untuk kemudian dikuburkan bersama-sama dengan jenazah Mayor Daan Mogot. Dikabarkan Hadjari tidak pernah membiarkan rambutnya panjang kembali. (sa)

Jalan Daan Mogot Jakarta Barat adalah jalan panjang yang mengkoneksikan antara Provinsi DKI Jakarta dengan Tangerang, Banten. Jalan ini memiliki sejarah yang unik dan berbau perjuangan kemerdekaan.
Diambil dari nama Elias Daniel Mogot, atau dikenal sebagai Daan Mogot, pemuda “kawanua” Manado. Kalau Sobat mengenal Irjen Gordon Mogot atau Kolonel Alex Kawilarang (Mantan Panglima Kodam Siliwangi), nah keduanya masih bertalian saudara dengan tokoh perjuangan kita ini.
Kisah Daan Mogot sesingkat umurnya. Namun meski singkat, tapi kisah hidupnya memiliki peranan yang sangat penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Mulai bergabung dalam dunia ketentaraan di usia sangat belia yakni 14 tahun, atau tepatnya pada tahun 1942. Ia masuk PETA (Pembela Tanah Air), tentara binaan di era penjajahan Jepang. Tentu saja usianya tidak memenuhi kualifikasi syarat 18 tahun. Tapi dikabarkan karena perawakannya besar dan memiliki sifat kedewasaan pihak Jepang percaya saja bahwa Daan Mogot sudah berusia 18 tahun.
Daan Mogot pernah berperang di Bali. Di situlah ia berkenalan dan akrab dengan Kemal Idris dan Zulkifli Lubis. Daan Mogot juga pernah dipercayakan sebagai instruktur PETA wilayah Bali dan Jakarta. Tanggal 15 Agustus 1945 Jepang pun keok dari Sekutu. Dua hari kemudian Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945. Tahun 1945 atau hanya dalam waktu dua tahun saja, pangkat Daan Mogot sudah Mayor dan ditunjuk sebagai Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR, atau cikal-bakal TNI-red) Jakarta.
Dalam usia belia itu ia kemudian juga mendapatkan kepercayaan menjadi Direktur akademi militer awal-awal di Indonesia yang berkedudukan di Tangerang, Akademi Militer Tangerang (MAT) namanya. Ide pendirian MAT memang salah satunya datang dari Daan Mogot. Gagasan tersebut diterima oleh pimpinan besar militer pusat Indonesia. Kemudian diangkatlah Daan Mogot menjadi Direktur MAT pertama pada tanggal 18 November 1945.
Sayangnya jabatannya itu adalah jabatannya yang tertinggi sekaligus terakhir dalam kisah karir militer anak muda belia tersebut. Pada tanggal 25 Januari 1946, ia dinyatakan gugur dalam pertempuran sengit di Hutan Lengkong Tangerang, Banten. Begini kisahnya, pada tanggal 24 Januari 1946, Mayor Daan Mogot mendapatkan kabar kalau Belanda segera akan menuju ke Tangerang untuk melucuti persenjataan tentara Jepang di Lengkong.
Tentu saja rencana Belanda itu jika berhasil akan menodai kedaulatan Indonesia, sekaligus mengancam keberadaan MAT dan Resimen IV TKR Tangerang. Untuk itu Komandan Resimen IV Tangerang, Letkol Singgih, memanggil Mayor Daan Mogot untuk membantu memperkuat Resimen tersebut.
Pada tanggal 25 Januari 1946 berangkatlah pasukan yang terdiri dari 70 orang taruna siswa MAT pimpinan Mayor Daan Mogot ke markas tentara Jepang di Lengkong. Salah satu taruna diketahui adalah anak kandung H. Agus Salim, tokoh perjuangan bangsa. Maksudnya adalah untuk mendahului tentara Belanda melucuti pasukan Jepang di Tangerang. Jadi harus Indonesia yang melakukannya. Ini demi kedaulatan bangsa yang baru saja merdeka.
Sampailah pasukan muda itu di markas tentara Jepang. Dikabarkan Tentara Jepang sebenarnya sangat hormat dan salut dengan keberanian tentara-tentara “taruna” yang datang ke markas mereka. Dipersilahkanlah masuk ke markas Mayor Daan Mogot yang didampingi Mayor Wibowo dan salah satu taruna oleh Kapten Abe pimpinan di sana. Untuk sementara pasukan taruna di luar dipimpin oleh Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo.
Berdialoglah Mayor Daan Mogot dengan Kapten Abe. Namun urusan pelucutan senjata, Kapten Abe tidak setuju mengingat belum ada perintah dari atasannya. Sementara Kapten Abe menghubungi atasannya, ternyata pasukan taruna merangsek masuk ke barak-barak dan melakukan pelucutan senjata.
Awalnya berjalan dengan lancar, namun tiba-tiba terdengar letusan senjata yang tidak diketahui berasal dari mana. Sontak tentara-tentara Jepang yang berada di pos penjagaan memuntahkan peluru mereka ke arah para pasukan taruna. Tentu saja posisi pasukan taruna tidak menguntungkan. Mereka menjadi “sitting duck”, alias bulan-bulanan peluru tentara Jepang.
Lalu terjadilah pertempuran sengit saling jual beli tembakan. Kagetlah Mayor Daan Mogot dan segera berhambur keluar ruangan untuk menghentikan pertempuran. Sayang sekali tidak digubris. Lalu Mayor Daan Mogot beserta pasukan taruna yang tersisa melarikan diri ke hutan Lengkong dan melakukan perlawanan sengit. Persenjataan yang tidak berimbang membuat banyak pasukan taruna yang mati tertembak, termasuk Mayor Daan Mogot.
Tercatat 33 taruna dan 3 perwira gugur dalam pertempuran tak imbang itu. Hanya 3 taruna yang berhasil menyelamatkan diri, sisanya ditawan oleh Pasukan Jepang. Kini, jenazah para pahlawan-pahlawan muda itu dimakamkan di dekat penjara khusus anak-anak di Tangerang. Dikabarkan kekasih Mayor Daan Mogot, Hadjari Singgih, sangat sedih dengan gugurnya pria idamannya itu.
Sebagai bentuk rasa cinta dan kehilangannya yang mendalam, Hadjari sampai harus memotong rambutnya yang panjang dan indah itu untuk kemudian dikuburkan bersama-sama dengan jenazah Mayor Daan Mogot. Dikabarkan Hadjari tidak pernah membiarkan rambutnya panjang kembali. (sa)
Post a Comment
Mari tinggalkan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan karena Tulisanmu Harimaumu. Komentar Sobat adalah Pendapat Pribadi, tidak mewakili Pendapat Redaksi Website Mentari News (WMN). Komentar yang mewakili redaksi Website Mentari News hanya melalui akun Mentari News. Selamat Berkomentar Sobat.. Salam Indonesia Berkemajuan.
Note: only a member of this blog may post a comment.