mentarinews.co.id -- Pertama kali dengar istilah ‘Kimcil’’ dari temen-temen yang masih
SMU, dari mereka pulalah aku tau apa maksud dari ‘Kimcil’’, entah siapa
pencetus dari kata itu ‘Kimcil’’
Kimcil merupakan singkatan dari Kimpol Cilik, mungkin yang dimaksud adalah pemilik dari betis (yang dalam bahasa Jawa
disebutnya kimpol-red.), kecil yang dalam hal ini adalah remaja cewek
seusia anak sekolahan. Tentu, yang dimaksud bukan remaja biasa tapi
remaja sekolahan yang ngejual tubuhnya demi beberapa rupiah...
Suatu populasi kimcil yang dianggap ciamik alias nempatin ras tertinggi ialah kimcil yang pakai seragam sekolah swasta, itu terkenal dan berbiaya mahal. Udah jadi rahasia umum bahwa murid-murid cewek yang belajar di sekolah-sekolah tersebut merupakan gadis-gadis cantik, semok, dan punya selera tinggi. Sedangkan untuk kimcil kelas menengah ato bawah biasanya ditempati oleh murid-murid yang belajar di sekolah yang (maaf) menengah ke bawah dan sengaja pengen ngikutin trend dari golongan atas.
Aku sempet berfikir sejenak apa yang menjadikan para kimcil ini terjun ke dunia gelap yang sebenarnya belom pantas mereka cerna. Banyak alasan tentunya, dan banyak pakar psikologi ataupun humanisme yang mengulas tentang fenomena kimcil.
Yang pasti sumbernya adalah ketidak siapan mental remaja kita dalam menghadapi era globalisasi yang demikian cepat menggempur sendi2 religus dan estetika bangsa kita. Bisa kita runut bahwa munculnya kimcil tidak jauh-jauh amat dari kemunculan teknologi hape camera dan internet dengan segala tetek bengeknya, ada camfrog, friendtser, YM, mirc dan komunitas anderground (adult website)
Hape camera dan internet setahuku menjadi ajang merebaknya virus kimcil di negeri ini, bukankah setiap kita search di google dengan keyword "3gp", "abg", maka yg pasti muncul adalah kontent video porno para kimcil?? ironisnya hal ini sekarang amat gampang di akses oleh para remaja sekolahan lalu mereka melihat, tertarik dan akhirnya meniru.
Internet memberikan dua sisi yang saling berlawanan, satu sisi internet bisa bermanfaat, tapi disisi lain internet jadi madharat. Internet akan bermanfaat jika memang internet dijadikan sekedar media bisnis dan pencari informasi secara global. Tapi jadi madharat jika internet dijadikan ajang pencarian maksiat seperti membuka video dan film forno, gambar forno dan lain sebagainya.
Biasanya kimcil-kimcil ini haus akan pengakuan dan eksistensi, bahkan dalam lingkungan anak band (khususnya band “indie/underground”) terkadang kimcil sering dikaitkan dengan groupies.
Ada juga yang mengatakan juga bahwa Kimcil itu singkatan dari KIMCIL:
K : Kecil
I : Imut
M : Manja
C : Cerewet
I : Imut
L : Lebay
Dan tidak dinyanapula, Hengky adalah orang yang sangat mencintai mic. Sehingga setiap kali ia memegang microfon entah dalam acara musik, pembukaan pameran, atau promosi obat Hengky selalu menyebutkan kata ini.
Alhasil kata kimcilpun menyebar dari satu mulu ke mulut lainnya, karena dalam proses penyebarannya tidak diselenggarakan seminar dengan judul "Kajian Makna Kata Kimcil dan Sejarahnya", maka akhirnya kata tersebut tersosialisasi dengan makna yang tidak jelas. Contohnya saja adalah makna kata kimcil seperti kita sebutkan di atas. Selain itu, ada juga yang memaknai kata kimcil sebagai gadis lucu dan imut, dan masih banyak makna lainnya yang mungkin belum pernah kita dengar sebelumnya.
Setelah penyebaran kata ini, beberapa teman perempuan bertanya: "Apakah kimcil adalah istilah untuk mengejek perempuan?". Menurut saya bukan. Karena penggunaan alat kelamin sebagai istilah panggilan bukanlah hal yang baru. Dalam penelitian Hildred Geertz mengenail keluarga Jawa, ia menyebutkan bahwa panggilan thole bagi anak laki-laki berasal dari kata Kontholle yang berarti Penis, sedangkan Genduk berasal dari kata miss-Vnya perempuan. Jadi para perempuan tidak perlu tersinggung dengan istilah kimcil ini.
Diambil dari berbagai sumber...
Suatu populasi kimcil yang dianggap ciamik alias nempatin ras tertinggi ialah kimcil yang pakai seragam sekolah swasta, itu terkenal dan berbiaya mahal. Udah jadi rahasia umum bahwa murid-murid cewek yang belajar di sekolah-sekolah tersebut merupakan gadis-gadis cantik, semok, dan punya selera tinggi. Sedangkan untuk kimcil kelas menengah ato bawah biasanya ditempati oleh murid-murid yang belajar di sekolah yang (maaf) menengah ke bawah dan sengaja pengen ngikutin trend dari golongan atas.
Aku sempet berfikir sejenak apa yang menjadikan para kimcil ini terjun ke dunia gelap yang sebenarnya belom pantas mereka cerna. Banyak alasan tentunya, dan banyak pakar psikologi ataupun humanisme yang mengulas tentang fenomena kimcil.
Yang pasti sumbernya adalah ketidak siapan mental remaja kita dalam menghadapi era globalisasi yang demikian cepat menggempur sendi2 religus dan estetika bangsa kita. Bisa kita runut bahwa munculnya kimcil tidak jauh-jauh amat dari kemunculan teknologi hape camera dan internet dengan segala tetek bengeknya, ada camfrog, friendtser, YM, mirc dan komunitas anderground (adult website)
Hape camera dan internet setahuku menjadi ajang merebaknya virus kimcil di negeri ini, bukankah setiap kita search di google dengan keyword "3gp", "abg", maka yg pasti muncul adalah kontent video porno para kimcil?? ironisnya hal ini sekarang amat gampang di akses oleh para remaja sekolahan lalu mereka melihat, tertarik dan akhirnya meniru.
Internet memberikan dua sisi yang saling berlawanan, satu sisi internet bisa bermanfaat, tapi disisi lain internet jadi madharat. Internet akan bermanfaat jika memang internet dijadikan sekedar media bisnis dan pencari informasi secara global. Tapi jadi madharat jika internet dijadikan ajang pencarian maksiat seperti membuka video dan film forno, gambar forno dan lain sebagainya.
Biasanya kimcil-kimcil ini haus akan pengakuan dan eksistensi, bahkan dalam lingkungan anak band (khususnya band “indie/underground”) terkadang kimcil sering dikaitkan dengan groupies.
Ada juga yang mengatakan juga bahwa Kimcil itu singkatan dari KIMCIL:
K : Kecil
I : Imut
M : Manja
C : Cerewet
I : Imut
L : Lebay
Inikah Istilah "Kimci" Pertama Kali Muncul?
Alkisah, disuatu hari seorang teman lainnya mendengar kata ini, sebut saja Hengky dan merasa tertarik. Hengky-pun sempat terpikir untuk menggunakan kata ini sebutan ke para fansnya. Seperti Upstairs dan Modern Darling, Dewa dengan Baladewa, Padi dengan Sobat Padinya, dan Band si Hengky dengan Super Mega Kimcil. Tidak mungkin sebuah band memiliki nama untuk fansnya tidak menyebarluaskan terlebih dahulu, maka si Hengky yang kebetulan merupakan vokalus dari band tersebut selalu menyebutkan kata kimcil setiap kali ia manggung.Dan tidak dinyanapula, Hengky adalah orang yang sangat mencintai mic. Sehingga setiap kali ia memegang microfon entah dalam acara musik, pembukaan pameran, atau promosi obat Hengky selalu menyebutkan kata ini.
Alhasil kata kimcilpun menyebar dari satu mulu ke mulut lainnya, karena dalam proses penyebarannya tidak diselenggarakan seminar dengan judul "Kajian Makna Kata Kimcil dan Sejarahnya", maka akhirnya kata tersebut tersosialisasi dengan makna yang tidak jelas. Contohnya saja adalah makna kata kimcil seperti kita sebutkan di atas. Selain itu, ada juga yang memaknai kata kimcil sebagai gadis lucu dan imut, dan masih banyak makna lainnya yang mungkin belum pernah kita dengar sebelumnya.
Setelah penyebaran kata ini, beberapa teman perempuan bertanya: "Apakah kimcil adalah istilah untuk mengejek perempuan?". Menurut saya bukan. Karena penggunaan alat kelamin sebagai istilah panggilan bukanlah hal yang baru. Dalam penelitian Hildred Geertz mengenail keluarga Jawa, ia menyebutkan bahwa panggilan thole bagi anak laki-laki berasal dari kata Kontholle yang berarti Penis, sedangkan Genduk berasal dari kata miss-Vnya perempuan. Jadi para perempuan tidak perlu tersinggung dengan istilah kimcil ini.
Diambil dari berbagai sumber...
Kimcil dan cabe-cabean. Inilah dua idiom baru di Indonesia, terutama di
Jawa. Terminologi ini muncul sejak tahun 2013 dan memasuki 2014 berkembang lagi
dengan istilah “cabe-cabean”. Lalu, apa sebenarnya makna dan substansi “kimcil”
dan “cabe-cabean”? Karena selama ini banyak pemuda mengatakan dua idiom
tersebut, namun ketika ditanya mereka tak bisa menjawab secara ilmiah dan logis.
Hanya asal ngomong tanpa tahu filologinya.
Bahasa di Indonesia memang unik. Ia berkembang laiknya tumbuhan, berputar
laiknya roda dan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Namun banyak orang
berbahasa dengan gaya “sok intelek” dan “sok gaul” agar kelihatan keren,
padahal banyak di antara remaja bahkan orang tua tidak tahu dengan kata-kata
yang keluar dari mulutnya sendiri, salah satunya kimcil dan cabe-cabean. Maka
tidak heran jika fenomena “Vicky” sempat menjadi sorotan tajam di masyarakat.
Karena selama ini masyarakat mengalami “kejumudan bahasa” dan tidak pernah ada
pelurusan dan edukasi bahasa Indonesia kepada masyarakat awam.
Pada 2013, Saya pernah menulis tentang “Menyikapi Bahasa Vikcy” yang
dimuat di Koran Pagi Wawasan yang intinya menjelaskan bahwa fenomana Vicky
harus menjadi kesadaran bagi masyarakat untuk belajar lebih dalam tentang
bahasa Indonesia sesuai dengan alat ukur benar-salah, baik-buruk dan
indah-tidak indah. Tiga ukuran ini harus diterapkan pada bahasa Indonesia.
Di zaman edan seperti ini, kita kadang sering terjebak dengan
kata-kata. Dengan kata saja kita sudah bingung. Apalagi dengan kalimat,
paragraf, artikel, gagasan, buku. Maka jangan sampai Anda meniru-niru tapi
tidak tahu filologinya, epistemologinya, antologi dan aksiologinya. Jika
demikian, Anda tak ada bedanya seperti buih yang mudah terombang-ambing oleh
ombak ketika ditiup angin. Padahal, kita harus terbiasa bercanda dengan
gelombang agar tidak mudah hanya dengan “kekonyolan zaman”.
Memang benar apa yang pernah dinyatakan Prof. Dr. Fathur Rokhman, MHum
(2013) dalam bukunya Sosiolinguistik. Beliau menyatakan secara tegas bahwa
berbahasa itu harus sesuai konteks, memahami mitra tutur, kondisi, tempat dan
waktu. Pemilihan ragam bahasa harus pas dengan lawan bicara. Maka jangan sampai
berbicara intelek di hadapan masyarakat desa yang tingkat pendidikannya rendah.
Mengenai bahasa yang berkembang di Indonesia memang sudah salah kaprah.
Terminologi kimcil dan cabe-cabean juga demikian. Banyak pemuda salah paham
dalam menggunakan bahasa ini. Ini merupakan simbol “konslet bahasa” yang
terjadi di masyarakat kita. Memang benar apa yang disampaikan Prof. Dr.
Rustono, MHum saat mengajar mata kuliah Linguistik di kelas Saya, beliau
menyatakan bahasa itu sesungguhnya adalah hasil budaya manusia dan muncul
dengan dinamika kehidupan. Zaman dulu masyarakat tidak mengenal kata “alay,
lebay, galau, cumungut, ea, kepo, unyu-unyu” termasuk “kimcil” dan
“cabe-cabean” yang dewasa ini sudah membumi.
Akan tetapi karena zaman selalu berputar, maka populerlah bahasa-bahasa
tersebut. Biasanya pemakai bahasa itu adalah kalangan remaja dan pemuda yang
masih usia puber dan belum mengenal baik buruknya sesuatu secara radikal.
Makna kimcil dan cabe-cabean
Jika Anda membuka Google dan kemudian mencari tahu makna kimcil, yang
keluar adalah kimcil berasal dari bahasa Jawa yaitu “kimpetan cilik”
atau “kimplikan cilik” yang artinya alat kelamin perempuan yang masih
kecil. Lebih parahnya, jika Anda mencari di internet tentang “kimcil” yang
keluar adalah video dan gambar porno. Lebih mudahnya, kimcil adalah sebutan
bagi remaja perempuan yang nakal, suka seks bebas.
Ada juga yang mengatakan bahwa kimcil adalah daun muda kota yang
usianya antara 15-23 tahun, biasanya usia SMA sampai mahasiswa. Lalu, benarkah
makna itu? Hemat penulis sah-sah saja. Karena sampai artikel ini Saya tulis,
pusat bahasa Indonesia dan pemerintah belum mengamini makna tersebut, dan dalam
kamus bahasa Indonesia juga belum mengartikan kimcil sebagai bagian dari bahasa
baku sesuai EYD.
Dalam hal ini, setiap orang memiliki sudut pandang, angle, landasan,
point of view berbeda. Namun menurut penulis, menilai arti kimcil
bukanlah dilihat dari ukuran benar dan salah, namun harus dilihat dari
paradigma baik-buruk, indah dan tidak indah. Karena jika perempuan dikatakan
sebagai “kimcil”, konotasi masyarakat sudah negatif. Artinya, kimcil itu adalah
idiom masyarakat untuk memberi gelar pada perempuan kecil sebagai “perempuan
nakal”.
Dalam kajian filologi, kimcil merupakan idiom baru yang menggambarkan
budaya remaja saat ini yang sudah di luar batas. Artinya, idiom ini lahir dari
budaya remaja yang sudah mengenal seks bebas, kumpul kebo dan karena banyak
remaja perempuan nakal bahkan menjual diri, maka lahirlah idiom ini sebagai
sebutan bagi remaja perempuan nakal. Ini sangat logis. Karena bahasa itu lahir
dari kebiasaan dan sesuai yang disimbolkan. Misalnya, tempat untuk mengubur
manusia dinamakan “kuburan”, benda yang ditata rapi jika miring, maka disebut
“piring” dan sebagainya.
Ya, lebih tepatnya bahasa merupakan “ekspresi budaya” terhadap
“kejumudan” perilaku manusia. Maka lahirlah terminologi “cabe-cabean”, padahal
secara bahasa Indonesia cabai adalah tanaman perdu
yang buahnya berbentuk bulat panjang dengan ujung meruncing, apabila sudah tua
berwarna merah kecokelat-cokelatan atau hijau tua, berisi banyak biji yang
pedas rasanya. Dalam bahasa lain cabai adalah lombok sebagai bahan baku sambal.
Cabe-cabean berari lombok-lombokan yang pedas atau
apa? Inilah kesalahan yang terjadi. Namun para ahli linguistik, sosiolinguistik
dan psikolinguistik tidak mau tahu akan hal itu. Karena bahasa seperti itu
dinamakan bahasa “slang” yang tidak termasuk bahasa baku dan ilmiah. Slang
merupakan ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman,
dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern
dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti.
Lebih-lebih, bahasa “kimcil” dan “cabe-cabean”
digunakan masyarakat awam dan tidak mempermasalahkan baik-buruk, benar-salah
dan indah-tidak indah. Bagi masyarakat, yang terpenting mitra tutur paham dan
hal itu sudah “membumi”. Maka, populerlah istilah-istilah seperti kimcil dan
cabe-cabean. Jika ada remaja perempuan terlihat nakal, maka masyarakat
menyebutnya “kimcil”. Padahal kimcil atau tidak kimcil tidak semua orang tahu,
dan hanya perempuan tersebut yang tahu.
Selain itu, cabe-cabean itu merupakan “kamuflase”
dari kimcil. Artinya, cabe-cabean adalah bahasa Indonesia dari “kimcil” karena
untuk mempermudah masyarakat non-Jawa mengetahui makna kimcil. Intinya, kimcil
dan cabe-cabean adalah idiom baru dalam bahasa remaja yang artinya sama diambil dari plesetan alat vital perempuan yang digabungkan dengan kata
“cilik” atau dalam bahasa Indonesia
berarti kecil.
Karena terlalu “populernya”, tidak heran jika tahun 2013 band Serempet
Gudal membuat lagu berjudul “kimcil” yang menceritakan anak SMA yang sudah
melakukan seks bebas dengan teman, guru dan pemuda amoral. Band asal Semarang
ini membawakan lagu kimcil dengan mendeskripsikan kondisi pemuda SMA yang sudah
mengenal seks bebas. Menurut Serempet Gudal, gadis “kecil, imut, unyu-unyu
mungil” yang berani melakukan seks bebas disebut “kimcil”. Lalu, apakah kita tetap menggunakan bahasa ini atau tidak?
Digunakan atau Tidak?
Sebenarnya, pemakaian bahasa kimcil atau cabe-cabean tidak ada masalah
dalam paradigma bahasa Indonesia. Jika sudah memenuhi syarat dan sesuai konteks
(diglosia), maka berbahasa apa saja boleh. Artinya, berbahasa yang dimaksud di
sini sesuai situasi kebahasaan dengan pembagian
fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misal
ragam atau bahasa A untuk suasana resmi di kantor dan ragam atau bahasa B untuk
suasana intim di rumah).
Namun ukuran berbahasa tidak hanya benar-salah,
baik-buruk, tetapi juga harus memperhatikan segi indah dan tidak indah, pas dan
tidak pas. Apalagi kimcil/cabe-cabean sudah dimaknai dan dikonotasikan “cewek
negatif” yang suka melakukan seks bebas. Inilah yang harus dipahami, karena
tidak semua cewek perempuan seusia SMA mau disebut kimcil.
Sebagai masyarakat awam, sangat tidak bijaksana
jika menggunakan bahasa kimcil sembarangan. Hal itu sama saja melakukan
“pengkhianatan” terhadap bahasa Indonesia. Karena bahasa merupakan penyimbolan
terhadap sesuatu, kejadian, tempat dan seorang. Jika orang dikatakan bodoh,
maka dia bisa berarti bodoh sungguhan, pura-pura bodoh, atau bisa jadi dia
difitnah bodoh. Maka kita harus hati-hati dalam berbahasa.
Memakai bahasa kimcil atau tidak itu hak pribadi.
Jika Anda beriman pada EYD dan bahasa Indonesia yang baik dan benar pasti mampu
menempatkan bahasa sesuai konteksnya tidak asal ngomong kimcil dan cabe-cabean.
Menggunakan bahasa kimcil atau tidak? Anda punya
pilihan! Namun semua ada risikonya.
- See more at: http://www.islamcendekia.com/2014/01/meluruskan-makna-kimcil-dan-cabe-cabean.html#sthash.SUGOIy2y.dpuf
Kimcil dan cabe-cabean. Inilah dua idiom baru di Indonesia, terutama di
Jawa. Terminologi ini muncul sejak tahun 2013 dan memasuki 2014 berkembang lagi
dengan istilah “cabe-cabean”. Lalu, apa sebenarnya makna dan substansi “kimcil”
dan “cabe-cabean”? Karena selama ini banyak pemuda mengatakan dua idiom
tersebut, namun ketika ditanya mereka tak bisa menjawab secara ilmiah dan logis.
Hanya asal ngomong tanpa tahu filologinya.
Bahasa di Indonesia memang unik. Ia berkembang laiknya tumbuhan, berputar
laiknya roda dan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Namun banyak orang
berbahasa dengan gaya “sok intelek” dan “sok gaul” agar kelihatan keren,
padahal banyak di antara remaja bahkan orang tua tidak tahu dengan kata-kata
yang keluar dari mulutnya sendiri, salah satunya kimcil dan cabe-cabean. Maka
tidak heran jika fenomena “Vicky” sempat menjadi sorotan tajam di masyarakat.
Karena selama ini masyarakat mengalami “kejumudan bahasa” dan tidak pernah ada
pelurusan dan edukasi bahasa Indonesia kepada masyarakat awam.
Pada 2013, Saya pernah menulis tentang “Menyikapi Bahasa Vikcy” yang
dimuat di Koran Pagi Wawasan yang intinya menjelaskan bahwa fenomana Vicky
harus menjadi kesadaran bagi masyarakat untuk belajar lebih dalam tentang
bahasa Indonesia sesuai dengan alat ukur benar-salah, baik-buruk dan
indah-tidak indah. Tiga ukuran ini harus diterapkan pada bahasa Indonesia.
Di zaman edan seperti ini, kita kadang sering terjebak dengan
kata-kata. Dengan kata saja kita sudah bingung. Apalagi dengan kalimat,
paragraf, artikel, gagasan, buku. Maka jangan sampai Anda meniru-niru tapi
tidak tahu filologinya, epistemologinya, antologi dan aksiologinya. Jika
demikian, Anda tak ada bedanya seperti buih yang mudah terombang-ambing oleh
ombak ketika ditiup angin. Padahal, kita harus terbiasa bercanda dengan
gelombang agar tidak mudah hanya dengan “kekonyolan zaman”.
Memang benar apa yang pernah dinyatakan Prof. Dr. Fathur Rokhman, MHum
(2013) dalam bukunya Sosiolinguistik. Beliau menyatakan secara tegas bahwa
berbahasa itu harus sesuai konteks, memahami mitra tutur, kondisi, tempat dan
waktu. Pemilihan ragam bahasa harus pas dengan lawan bicara. Maka jangan sampai
berbicara intelek di hadapan masyarakat desa yang tingkat pendidikannya rendah.
Mengenai bahasa yang berkembang di Indonesia memang sudah salah kaprah.
Terminologi kimcil dan cabe-cabean juga demikian. Banyak pemuda salah paham
dalam menggunakan bahasa ini. Ini merupakan simbol “konslet bahasa” yang
terjadi di masyarakat kita. Memang benar apa yang disampaikan Prof. Dr.
Rustono, MHum saat mengajar mata kuliah Linguistik di kelas Saya, beliau
menyatakan bahasa itu sesungguhnya adalah hasil budaya manusia dan muncul
dengan dinamika kehidupan. Zaman dulu masyarakat tidak mengenal kata “alay,
lebay, galau, cumungut, ea, kepo, unyu-unyu” termasuk “kimcil” dan
“cabe-cabean” yang dewasa ini sudah membumi.
Akan tetapi karena zaman selalu berputar, maka populerlah bahasa-bahasa
tersebut. Biasanya pemakai bahasa itu adalah kalangan remaja dan pemuda yang
masih usia puber dan belum mengenal baik buruknya sesuatu secara radikal.
Makna kimcil dan cabe-cabean
Jika Anda membuka Google dan kemudian mencari tahu makna kimcil, yang
keluar adalah kimcil berasal dari bahasa Jawa yaitu “kimpetan cilik”
atau “kimplikan cilik” yang artinya alat kelamin perempuan yang masih
kecil. Lebih parahnya, jika Anda mencari di internet tentang “kimcil” yang
keluar adalah video dan gambar porno. Lebih mudahnya, kimcil adalah sebutan
bagi remaja perempuan yang nakal, suka seks bebas.
Ada juga yang mengatakan bahwa kimcil adalah daun muda kota yang
usianya antara 15-23 tahun, biasanya usia SMA sampai mahasiswa. Lalu, benarkah
makna itu? Hemat penulis sah-sah saja. Karena sampai artikel ini Saya tulis,
pusat bahasa Indonesia dan pemerintah belum mengamini makna tersebut, dan dalam
kamus bahasa Indonesia juga belum mengartikan kimcil sebagai bagian dari bahasa
baku sesuai EYD.
Dalam hal ini, setiap orang memiliki sudut pandang, angle, landasan,
point of view berbeda. Namun menurut penulis, menilai arti kimcil
bukanlah dilihat dari ukuran benar dan salah, namun harus dilihat dari
paradigma baik-buruk, indah dan tidak indah. Karena jika perempuan dikatakan
sebagai “kimcil”, konotasi masyarakat sudah negatif. Artinya, kimcil itu adalah
idiom masyarakat untuk memberi gelar pada perempuan kecil sebagai “perempuan
nakal”.
Dalam kajian filologi, kimcil merupakan idiom baru yang menggambarkan
budaya remaja saat ini yang sudah di luar batas. Artinya, idiom ini lahir dari
budaya remaja yang sudah mengenal seks bebas, kumpul kebo dan karena banyak
remaja perempuan nakal bahkan menjual diri, maka lahirlah idiom ini sebagai
sebutan bagi remaja perempuan nakal. Ini sangat logis. Karena bahasa itu lahir
dari kebiasaan dan sesuai yang disimbolkan. Misalnya, tempat untuk mengubur
manusia dinamakan “kuburan”, benda yang ditata rapi jika miring, maka disebut
“piring” dan sebagainya.
Ya, lebih tepatnya bahasa merupakan “ekspresi budaya” terhadap
“kejumudan” perilaku manusia. Maka lahirlah terminologi “cabe-cabean”, padahal
secara bahasa Indonesia cabai adalah tanaman perdu
yang buahnya berbentuk bulat panjang dengan ujung meruncing, apabila sudah tua
berwarna merah kecokelat-cokelatan atau hijau tua, berisi banyak biji yang
pedas rasanya. Dalam bahasa lain cabai adalah lombok sebagai bahan baku sambal.
Cabe-cabean berari lombok-lombokan yang pedas atau
apa? Inilah kesalahan yang terjadi. Namun para ahli linguistik, sosiolinguistik
dan psikolinguistik tidak mau tahu akan hal itu. Karena bahasa seperti itu
dinamakan bahasa “slang” yang tidak termasuk bahasa baku dan ilmiah. Slang
merupakan ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman,
dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern
dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti.
Lebih-lebih, bahasa “kimcil” dan “cabe-cabean”
digunakan masyarakat awam dan tidak mempermasalahkan baik-buruk, benar-salah
dan indah-tidak indah. Bagi masyarakat, yang terpenting mitra tutur paham dan
hal itu sudah “membumi”. Maka, populerlah istilah-istilah seperti kimcil dan
cabe-cabean. Jika ada remaja perempuan terlihat nakal, maka masyarakat
menyebutnya “kimcil”. Padahal kimcil atau tidak kimcil tidak semua orang tahu,
dan hanya perempuan tersebut yang tahu.
Selain itu, cabe-cabean itu merupakan “kamuflase”
dari kimcil. Artinya, cabe-cabean adalah bahasa Indonesia dari “kimcil” karena
untuk mempermudah masyarakat non-Jawa mengetahui makna kimcil. Intinya, kimcil
dan cabe-cabean adalah idiom baru dalam bahasa remaja yang artinya sama diambil dari plesetan alat vital perempuan yang digabungkan dengan kata
“cilik” atau dalam bahasa Indonesia
berarti kecil.
Karena terlalu “populernya”, tidak heran jika tahun 2013 band Serempet
Gudal membuat lagu berjudul “kimcil” yang menceritakan anak SMA yang sudah
melakukan seks bebas dengan teman, guru dan pemuda amoral. Band asal Semarang
ini membawakan lagu kimcil dengan mendeskripsikan kondisi pemuda SMA yang sudah
mengenal seks bebas. Menurut Serempet Gudal, gadis “kecil, imut, unyu-unyu
mungil” yang berani melakukan seks bebas disebut “kimcil”. Lalu, apakah kita tetap menggunakan bahasa ini atau tidak?
Digunakan atau Tidak?
Sebenarnya, pemakaian bahasa kimcil atau cabe-cabean tidak ada masalah
dalam paradigma bahasa Indonesia. Jika sudah memenuhi syarat dan sesuai konteks
(diglosia), maka berbahasa apa saja boleh. Artinya, berbahasa yang dimaksud di
sini sesuai situasi kebahasaan dengan pembagian
fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misal
ragam atau bahasa A untuk suasana resmi di kantor dan ragam atau bahasa B untuk
suasana intim di rumah).
Namun ukuran berbahasa tidak hanya benar-salah,
baik-buruk, tetapi juga harus memperhatikan segi indah dan tidak indah, pas dan
tidak pas. Apalagi kimcil/cabe-cabean sudah dimaknai dan dikonotasikan “cewek
negatif” yang suka melakukan seks bebas. Inilah yang harus dipahami, karena
tidak semua cewek perempuan seusia SMA mau disebut kimcil.
Sebagai masyarakat awam, sangat tidak bijaksana
jika menggunakan bahasa kimcil sembarangan. Hal itu sama saja melakukan
“pengkhianatan” terhadap bahasa Indonesia. Karena bahasa merupakan penyimbolan
terhadap sesuatu, kejadian, tempat dan seorang. Jika orang dikatakan bodoh,
maka dia bisa berarti bodoh sungguhan, pura-pura bodoh, atau bisa jadi dia
difitnah bodoh. Maka kita harus hati-hati dalam berbahasa.
Memakai bahasa kimcil atau tidak itu hak pribadi.
Jika Anda beriman pada EYD dan bahasa Indonesia yang baik dan benar pasti mampu
menempatkan bahasa sesuai konteksnya tidak asal ngomong kimcil dan cabe-cabean.
Menggunakan bahasa kimcil atau tidak? Anda punya
pilihan! Namun semua ada risikonya.
- See more at: http://www.islamcendekia.com/2014/01/meluruskan-makna-kimcil-dan-cabe-cabean.html#sthash.SUGOIy2y.dpuf
Kimcil dan cabe-cabean. Inilah dua idiom baru di Indonesia, terutama di
Jawa. Terminologi ini muncul sejak tahun 2013 dan memasuki 2014 berkembang lagi
dengan istilah “cabe-cabean”. Lalu, apa sebenarnya makna dan substansi “kimcil”
dan “cabe-cabean”? Karena selama ini banyak pemuda mengatakan dua idiom
tersebut, namun ketika ditanya mereka tak bisa menjawab secara ilmiah dan logis.
Hanya asal ngomong tanpa tahu filologinya.
Bahasa di Indonesia memang unik. Ia berkembang laiknya tumbuhan, berputar
laiknya roda dan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Namun banyak orang
berbahasa dengan gaya “sok intelek” dan “sok gaul” agar kelihatan keren,
padahal banyak di antara remaja bahkan orang tua tidak tahu dengan kata-kata
yang keluar dari mulutnya sendiri, salah satunya kimcil dan cabe-cabean. Maka
tidak heran jika fenomena “Vicky” sempat menjadi sorotan tajam di masyarakat.
Karena selama ini masyarakat mengalami “kejumudan bahasa” dan tidak pernah ada
pelurusan dan edukasi bahasa Indonesia kepada masyarakat awam.
Pada 2013, Saya pernah menulis tentang “Menyikapi Bahasa Vikcy” yang
dimuat di Koran Pagi Wawasan yang intinya menjelaskan bahwa fenomana Vicky
harus menjadi kesadaran bagi masyarakat untuk belajar lebih dalam tentang
bahasa Indonesia sesuai dengan alat ukur benar-salah, baik-buruk dan
indah-tidak indah. Tiga ukuran ini harus diterapkan pada bahasa Indonesia.
Di zaman edan seperti ini, kita kadang sering terjebak dengan
kata-kata. Dengan kata saja kita sudah bingung. Apalagi dengan kalimat,
paragraf, artikel, gagasan, buku. Maka jangan sampai Anda meniru-niru tapi
tidak tahu filologinya, epistemologinya, antologi dan aksiologinya. Jika
demikian, Anda tak ada bedanya seperti buih yang mudah terombang-ambing oleh
ombak ketika ditiup angin. Padahal, kita harus terbiasa bercanda dengan
gelombang agar tidak mudah hanya dengan “kekonyolan zaman”.
Memang benar apa yang pernah dinyatakan Prof. Dr. Fathur Rokhman, MHum
(2013) dalam bukunya Sosiolinguistik. Beliau menyatakan secara tegas bahwa
berbahasa itu harus sesuai konteks, memahami mitra tutur, kondisi, tempat dan
waktu. Pemilihan ragam bahasa harus pas dengan lawan bicara. Maka jangan sampai
berbicara intelek di hadapan masyarakat desa yang tingkat pendidikannya rendah.
Mengenai bahasa yang berkembang di Indonesia memang sudah salah kaprah.
Terminologi kimcil dan cabe-cabean juga demikian. Banyak pemuda salah paham
dalam menggunakan bahasa ini. Ini merupakan simbol “konslet bahasa” yang
terjadi di masyarakat kita. Memang benar apa yang disampaikan Prof. Dr.
Rustono, MHum saat mengajar mata kuliah Linguistik di kelas Saya, beliau
menyatakan bahasa itu sesungguhnya adalah hasil budaya manusia dan muncul
dengan dinamika kehidupan. Zaman dulu masyarakat tidak mengenal kata “alay,
lebay, galau, cumungut, ea, kepo, unyu-unyu” termasuk “kimcil” dan
“cabe-cabean” yang dewasa ini sudah membumi.
Akan tetapi karena zaman selalu berputar, maka populerlah bahasa-bahasa
tersebut. Biasanya pemakai bahasa itu adalah kalangan remaja dan pemuda yang
masih usia puber dan belum mengenal baik buruknya sesuatu secara radikal.
Makna kimcil dan cabe-cabean
Jika Anda membuka Google dan kemudian mencari tahu makna kimcil, yang
keluar adalah kimcil berasal dari bahasa Jawa yaitu “kimpetan cilik”
atau “kimplikan cilik” yang artinya alat kelamin perempuan yang masih
kecil. Lebih parahnya, jika Anda mencari di internet tentang “kimcil” yang
keluar adalah video dan gambar porno. Lebih mudahnya, kimcil adalah sebutan
bagi remaja perempuan yang nakal, suka seks bebas.
Ada juga yang mengatakan bahwa kimcil adalah daun muda kota yang
usianya antara 15-23 tahun, biasanya usia SMA sampai mahasiswa. Lalu, benarkah
makna itu? Hemat penulis sah-sah saja. Karena sampai artikel ini Saya tulis,
pusat bahasa Indonesia dan pemerintah belum mengamini makna tersebut, dan dalam
kamus bahasa Indonesia juga belum mengartikan kimcil sebagai bagian dari bahasa
baku sesuai EYD.
Dalam hal ini, setiap orang memiliki sudut pandang, angle, landasan,
point of view berbeda. Namun menurut penulis, menilai arti kimcil
bukanlah dilihat dari ukuran benar dan salah, namun harus dilihat dari
paradigma baik-buruk, indah dan tidak indah. Karena jika perempuan dikatakan
sebagai “kimcil”, konotasi masyarakat sudah negatif. Artinya, kimcil itu adalah
idiom masyarakat untuk memberi gelar pada perempuan kecil sebagai “perempuan
nakal”.
Dalam kajian filologi, kimcil merupakan idiom baru yang menggambarkan
budaya remaja saat ini yang sudah di luar batas. Artinya, idiom ini lahir dari
budaya remaja yang sudah mengenal seks bebas, kumpul kebo dan karena banyak
remaja perempuan nakal bahkan menjual diri, maka lahirlah idiom ini sebagai
sebutan bagi remaja perempuan nakal. Ini sangat logis. Karena bahasa itu lahir
dari kebiasaan dan sesuai yang disimbolkan. Misalnya, tempat untuk mengubur
manusia dinamakan “kuburan”, benda yang ditata rapi jika miring, maka disebut
“piring” dan sebagainya.
Ya, lebih tepatnya bahasa merupakan “ekspresi budaya” terhadap
“kejumudan” perilaku manusia. Maka lahirlah terminologi “cabe-cabean”, padahal
secara bahasa Indonesia cabai adalah tanaman perdu
yang buahnya berbentuk bulat panjang dengan ujung meruncing, apabila sudah tua
berwarna merah kecokelat-cokelatan atau hijau tua, berisi banyak biji yang
pedas rasanya. Dalam bahasa lain cabai adalah lombok sebagai bahan baku sambal.
Cabe-cabean berari lombok-lombokan yang pedas atau
apa? Inilah kesalahan yang terjadi. Namun para ahli linguistik, sosiolinguistik
dan psikolinguistik tidak mau tahu akan hal itu. Karena bahasa seperti itu
dinamakan bahasa “slang” yang tidak termasuk bahasa baku dan ilmiah. Slang
merupakan ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman,
dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern
dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti.
Lebih-lebih, bahasa “kimcil” dan “cabe-cabean”
digunakan masyarakat awam dan tidak mempermasalahkan baik-buruk, benar-salah
dan indah-tidak indah. Bagi masyarakat, yang terpenting mitra tutur paham dan
hal itu sudah “membumi”. Maka, populerlah istilah-istilah seperti kimcil dan
cabe-cabean. Jika ada remaja perempuan terlihat nakal, maka masyarakat
menyebutnya “kimcil”. Padahal kimcil atau tidak kimcil tidak semua orang tahu,
dan hanya perempuan tersebut yang tahu.
Selain itu, cabe-cabean itu merupakan “kamuflase”
dari kimcil. Artinya, cabe-cabean adalah bahasa Indonesia dari “kimcil” karena
untuk mempermudah masyarakat non-Jawa mengetahui makna kimcil. Intinya, kimcil
dan cabe-cabean adalah idiom baru dalam bahasa remaja yang artinya sama diambil dari plesetan alat vital perempuan yang digabungkan dengan kata
“cilik” atau dalam bahasa Indonesia
berarti kecil.
Karena terlalu “populernya”, tidak heran jika tahun 2013 band Serempet
Gudal membuat lagu berjudul “kimcil” yang menceritakan anak SMA yang sudah
melakukan seks bebas dengan teman, guru dan pemuda amoral. Band asal Semarang
ini membawakan lagu kimcil dengan mendeskripsikan kondisi pemuda SMA yang sudah
mengenal seks bebas. Menurut Serempet Gudal, gadis “kecil, imut, unyu-unyu
mungil” yang berani melakukan seks bebas disebut “kimcil”. Lalu, apakah kita tetap menggunakan bahasa ini atau tidak?
Digunakan atau Tidak?
Sebenarnya, pemakaian bahasa kimcil atau cabe-cabean tidak ada masalah
dalam paradigma bahasa Indonesia. Jika sudah memenuhi syarat dan sesuai konteks
(diglosia), maka berbahasa apa saja boleh. Artinya, berbahasa yang dimaksud di
sini sesuai situasi kebahasaan dengan pembagian
fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misal
ragam atau bahasa A untuk suasana resmi di kantor dan ragam atau bahasa B untuk
suasana intim di rumah).
Namun ukuran berbahasa tidak hanya benar-salah,
baik-buruk, tetapi juga harus memperhatikan segi indah dan tidak indah, pas dan
tidak pas. Apalagi kimcil/cabe-cabean sudah dimaknai dan dikonotasikan “cewek
negatif” yang suka melakukan seks bebas. Inilah yang harus dipahami, karena
tidak semua cewek perempuan seusia SMA mau disebut kimcil.
Sebagai masyarakat awam, sangat tidak bijaksana
jika menggunakan bahasa kimcil sembarangan. Hal itu sama saja melakukan
“pengkhianatan” terhadap bahasa Indonesia. Karena bahasa merupakan penyimbolan
terhadap sesuatu, kejadian, tempat dan seorang. Jika orang dikatakan bodoh,
maka dia bisa berarti bodoh sungguhan, pura-pura bodoh, atau bisa jadi dia
difitnah bodoh. Maka kita harus hati-hati dalam berbahasa.
Memakai bahasa kimcil atau tidak itu hak pribadi.
Jika Anda beriman pada EYD dan bahasa Indonesia yang baik dan benar pasti mampu
menempatkan bahasa sesuai konteksnya tidak asal ngomong kimcil dan cabe-cabean.
Menggunakan bahasa kimcil atau tidak? Anda punya
pilihan! Namun semua ada risikonya.
- See more at: http://www.islamcendekia.com/2014/01/meluruskan-makna-kimcil-dan-cabe-cabean.html#sthash.SUGOIy2y.dpuf
Kimcil dan cabe-cabean. Inilah dua idiom baru di Indonesia, terutama di
Jawa. Terminologi ini muncul sejak tahun 2013 dan memasuki 2014 berkembang lagi
dengan istilah “cabe-cabean”. Lalu, apa sebenarnya makna dan substansi “kimcil”
dan “cabe-cabean”? Karena selama ini banyak pemuda mengatakan dua idiom
tersebut, namun ketika ditanya mereka tak bisa menjawab secara ilmiah dan logis.
Hanya asal ngomong tanpa tahu filologinya.
Bahasa di Indonesia memang unik. Ia berkembang laiknya tumbuhan, berputar
laiknya roda dan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Namun banyak orang
berbahasa dengan gaya “sok intelek” dan “sok gaul” agar kelihatan keren,
padahal banyak di antara remaja bahkan orang tua tidak tahu dengan kata-kata
yang keluar dari mulutnya sendiri, salah satunya kimcil dan cabe-cabean. Maka
tidak heran jika fenomena “Vicky” sempat menjadi sorotan tajam di masyarakat.
Karena selama ini masyarakat mengalami “kejumudan bahasa” dan tidak pernah ada
pelurusan dan edukasi bahasa Indonesia kepada masyarakat awam.
Pada 2013, Saya pernah menulis tentang “Menyikapi Bahasa Vikcy” yang
dimuat di Koran Pagi Wawasan yang intinya menjelaskan bahwa fenomana Vicky
harus menjadi kesadaran bagi masyarakat untuk belajar lebih dalam tentang
bahasa Indonesia sesuai dengan alat ukur benar-salah, baik-buruk dan
indah-tidak indah. Tiga ukuran ini harus diterapkan pada bahasa Indonesia.
Di zaman edan seperti ini, kita kadang sering terjebak dengan
kata-kata. Dengan kata saja kita sudah bingung. Apalagi dengan kalimat,
paragraf, artikel, gagasan, buku. Maka jangan sampai Anda meniru-niru tapi
tidak tahu filologinya, epistemologinya, antologi dan aksiologinya. Jika
demikian, Anda tak ada bedanya seperti buih yang mudah terombang-ambing oleh
ombak ketika ditiup angin. Padahal, kita harus terbiasa bercanda dengan
gelombang agar tidak mudah hanya dengan “kekonyolan zaman”.
Memang benar apa yang pernah dinyatakan Prof. Dr. Fathur Rokhman, MHum
(2013) dalam bukunya Sosiolinguistik. Beliau menyatakan secara tegas bahwa
berbahasa itu harus sesuai konteks, memahami mitra tutur, kondisi, tempat dan
waktu. Pemilihan ragam bahasa harus pas dengan lawan bicara. Maka jangan sampai
berbicara intelek di hadapan masyarakat desa yang tingkat pendidikannya rendah.
Mengenai bahasa yang berkembang di Indonesia memang sudah salah kaprah.
Terminologi kimcil dan cabe-cabean juga demikian. Banyak pemuda salah paham
dalam menggunakan bahasa ini. Ini merupakan simbol “konslet bahasa” yang
terjadi di masyarakat kita. Memang benar apa yang disampaikan Prof. Dr.
Rustono, MHum saat mengajar mata kuliah Linguistik di kelas Saya, beliau
menyatakan bahasa itu sesungguhnya adalah hasil budaya manusia dan muncul
dengan dinamika kehidupan. Zaman dulu masyarakat tidak mengenal kata “alay,
lebay, galau, cumungut, ea, kepo, unyu-unyu” termasuk “kimcil” dan
“cabe-cabean” yang dewasa ini sudah membumi.
Akan tetapi karena zaman selalu berputar, maka populerlah bahasa-bahasa
tersebut. Biasanya pemakai bahasa itu adalah kalangan remaja dan pemuda yang
masih usia puber dan belum mengenal baik buruknya sesuatu secara radikal.
Makna kimcil dan cabe-cabean
Jika Anda membuka Google dan kemudian mencari tahu makna kimcil, yang
keluar adalah kimcil berasal dari bahasa Jawa yaitu “kimpetan cilik”
atau “kimplikan cilik” yang artinya alat kelamin perempuan yang masih
kecil. Lebih parahnya, jika Anda mencari di internet tentang “kimcil” yang
keluar adalah video dan gambar porno. Lebih mudahnya, kimcil adalah sebutan
bagi remaja perempuan yang nakal, suka seks bebas.
Ada juga yang mengatakan bahwa kimcil adalah daun muda kota yang
usianya antara 15-23 tahun, biasanya usia SMA sampai mahasiswa. Lalu, benarkah
makna itu? Hemat penulis sah-sah saja. Karena sampai artikel ini Saya tulis,
pusat bahasa Indonesia dan pemerintah belum mengamini makna tersebut, dan dalam
kamus bahasa Indonesia juga belum mengartikan kimcil sebagai bagian dari bahasa
baku sesuai EYD.
Dalam hal ini, setiap orang memiliki sudut pandang, angle, landasan,
point of view berbeda. Namun menurut penulis, menilai arti kimcil
bukanlah dilihat dari ukuran benar dan salah, namun harus dilihat dari
paradigma baik-buruk, indah dan tidak indah. Karena jika perempuan dikatakan
sebagai “kimcil”, konotasi masyarakat sudah negatif. Artinya, kimcil itu adalah
idiom masyarakat untuk memberi gelar pada perempuan kecil sebagai “perempuan
nakal”.
Dalam kajian filologi, kimcil merupakan idiom baru yang menggambarkan
budaya remaja saat ini yang sudah di luar batas. Artinya, idiom ini lahir dari
budaya remaja yang sudah mengenal seks bebas, kumpul kebo dan karena banyak
remaja perempuan nakal bahkan menjual diri, maka lahirlah idiom ini sebagai
sebutan bagi remaja perempuan nakal. Ini sangat logis. Karena bahasa itu lahir
dari kebiasaan dan sesuai yang disimbolkan. Misalnya, tempat untuk mengubur
manusia dinamakan “kuburan”, benda yang ditata rapi jika miring, maka disebut
“piring” dan sebagainya.
Ya, lebih tepatnya bahasa merupakan “ekspresi budaya” terhadap
“kejumudan” perilaku manusia. Maka lahirlah terminologi “cabe-cabean”, padahal
secara bahasa Indonesia cabai adalah tanaman perdu
yang buahnya berbentuk bulat panjang dengan ujung meruncing, apabila sudah tua
berwarna merah kecokelat-cokelatan atau hijau tua, berisi banyak biji yang
pedas rasanya. Dalam bahasa lain cabai adalah lombok sebagai bahan baku sambal.
Cabe-cabean berari lombok-lombokan yang pedas atau
apa? Inilah kesalahan yang terjadi. Namun para ahli linguistik, sosiolinguistik
dan psikolinguistik tidak mau tahu akan hal itu. Karena bahasa seperti itu
dinamakan bahasa “slang” yang tidak termasuk bahasa baku dan ilmiah. Slang
merupakan ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman,
dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern
dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti.
Lebih-lebih, bahasa “kimcil” dan “cabe-cabean”
digunakan masyarakat awam dan tidak mempermasalahkan baik-buruk, benar-salah
dan indah-tidak indah. Bagi masyarakat, yang terpenting mitra tutur paham dan
hal itu sudah “membumi”. Maka, populerlah istilah-istilah seperti kimcil dan
cabe-cabean. Jika ada remaja perempuan terlihat nakal, maka masyarakat
menyebutnya “kimcil”. Padahal kimcil atau tidak kimcil tidak semua orang tahu,
dan hanya perempuan tersebut yang tahu.
Selain itu, cabe-cabean itu merupakan “kamuflase”
dari kimcil. Artinya, cabe-cabean adalah bahasa Indonesia dari “kimcil” karena
untuk mempermudah masyarakat non-Jawa mengetahui makna kimcil. Intinya, kimcil
dan cabe-cabean adalah idiom baru dalam bahasa remaja yang artinya sama diambil dari plesetan alat vital perempuan yang digabungkan dengan kata
“cilik” atau dalam bahasa Indonesia
berarti kecil.
Karena terlalu “populernya”, tidak heran jika tahun 2013 band Serempet
Gudal membuat lagu berjudul “kimcil” yang menceritakan anak SMA yang sudah
melakukan seks bebas dengan teman, guru dan pemuda amoral. Band asal Semarang
ini membawakan lagu kimcil dengan mendeskripsikan kondisi pemuda SMA yang sudah
mengenal seks bebas. Menurut Serempet Gudal, gadis “kecil, imut, unyu-unyu
mungil” yang berani melakukan seks bebas disebut “kimcil”. Lalu, apakah kita tetap menggunakan bahasa ini atau tidak?
Digunakan atau Tidak?
Sebenarnya, pemakaian bahasa kimcil atau cabe-cabean tidak ada masalah
dalam paradigma bahasa Indonesia. Jika sudah memenuhi syarat dan sesuai konteks
(diglosia), maka berbahasa apa saja boleh. Artinya, berbahasa yang dimaksud di
sini sesuai situasi kebahasaan dengan pembagian
fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misal
ragam atau bahasa A untuk suasana resmi di kantor dan ragam atau bahasa B untuk
suasana intim di rumah).
Namun ukuran berbahasa tidak hanya benar-salah,
baik-buruk, tetapi juga harus memperhatikan segi indah dan tidak indah, pas dan
tidak pas. Apalagi kimcil/cabe-cabean sudah dimaknai dan dikonotasikan “cewek
negatif” yang suka melakukan seks bebas. Inilah yang harus dipahami, karena
tidak semua cewek perempuan seusia SMA mau disebut kimcil.
Sebagai masyarakat awam, sangat tidak bijaksana
jika menggunakan bahasa kimcil sembarangan. Hal itu sama saja melakukan
“pengkhianatan” terhadap bahasa Indonesia. Karena bahasa merupakan penyimbolan
terhadap sesuatu, kejadian, tempat dan seorang. Jika orang dikatakan bodoh,
maka dia bisa berarti bodoh sungguhan, pura-pura bodoh, atau bisa jadi dia
difitnah bodoh. Maka kita harus hati-hati dalam berbahasa.
Memakai bahasa kimcil atau tidak itu hak pribadi.
Jika Anda beriman pada EYD dan bahasa Indonesia yang baik dan benar pasti mampu
menempatkan bahasa sesuai konteksnya tidak asal ngomong kimcil dan cabe-cabean.
Menggunakan bahasa kimcil atau tidak? Anda punya
pilihan! Namun semua ada risikonya.
- See more at: http://www.islamcendekia.com/2014/01/meluruskan-makna-kimcil-dan-cabe-cabean.html#sthash.SUGOIy2y.dpuf

Post a Comment
Mari tinggalkan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan karena Tulisanmu Harimaumu. Komentar Sobat adalah Pendapat Pribadi, tidak mewakili Pendapat Redaksi Website Mentari News (WMN). Komentar yang mewakili redaksi Website Mentari News hanya melalui akun Mentari News. Selamat Berkomentar Sobat.. Salam Indonesia Berkemajuan.
Note: only a member of this blog may post a comment.