WMN 2015 -- Ustadzah Rizka Rahma Fauziah—Masih terlintas jelas kisah 16 tahun silam, ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 1. Saya ditanya oleh ayah “Rizka, nanti kalau sudah besar ingin jadi apa?” Saya pun menjawabnya, “Saya ingin jadi dokter.”
Keesokannya ditanya lagi oleh ibu “Adik, besok kalau sudah besar ingin jadi apa?” saya pun menjawabnya “Saya ingin jadi polwan.” Ketika saya di sekolah ditanya oleh guru namanya Ibu Sri Wahyuni “Siapa yang ingin menjadi pilot?” saya tak segan-segan mengacungkan jari.
Kemudian guru tersebut bertanya lagi “Siapa yang ingin menjadi dokter?” saya pun kembali mengacungkan jari. Semua profesi beliau sebutkan, mulai dari tentara, polisi, guru, perawat, dokter. Saya tetap dengan percaya diri mengacungkan tangan. Pada akhirnya bu Sri datang menghampiri dan bertanya “Rizka, ketika bu guru bertanya siapa yang ingin menjadi guru, kamu mengacungkan tangan dan bu guru bertanya lagi, kamu juga mengacungkan tangan. Cita-cita Rizka ingin jadi apa?” dengan polosnya saya menjawab “Saya ingin jadi semua itu bu guru.” Bu Sri menautkan kening.
“Kenapa kamu tidak memilih salah satu yang benar-benar kamu cita-citakan?” tanya beliau sekali lagi. Saya menjawab “Bu, kalau saya punya satu cita-cita dan gagal, pasti saya tidak punya cita-cita lagi tapi kalau saya punya banyak cita-cita kalau gagal satu ‘kan masih ada lagi cita-cita yang lain.” Teman-teman sekelas menertawakan jawaban tersebut, bahkan di antara mereka sempat berceletuk “Haha...Bodoh kamu, cita-cita itu satu, gak boleh banyak-banyak. Dasar bodoh!”
Sesampai di rumah saya sampaikan kisah yang tadi siang terjadi di sekolah. Tidak ada bedanya dengan teman-teman. Ayah, ibu dan kakak juga melakukan hal yang sama. Menertawakan saya. “Adikku sayang, namanya cita-cita ya satu aja kalau banyak-banyak, terus bagaimana adik menjalani semua itu,” kata kakakku. “Ya terserah aku kak, aku yang punya cita-cita. Aku ‘kan juga ingin jadi guru biar pintar, ingin jadi dokter nanti bisa mengobati orang sakit, ingin jadi pilot biar bisa terbang, pokoknya banyak,” jawabku sedikit marah. Mengetahui perdebatanku dengan kakak, ayah dan ibu melerai.
Saat ini, jika diingatkan kembali pada kejadian tersebut membuat hati geli. Polosnya jawaban yang saya utarakan seakan-akan asal menjawab tanpa melihat dan memikirkan resikonya, kata orang jawa angger jeplak (asal bicara). Jika pertanyaan tersebut dipertanyakan saat ini, di usia saya hampir 24 tahun, mungkin saya sedikit berpikir cita-cita apa yang saya inginkan ketika saya sudah berusia sekian tahun. Lama saya merenung, mengapa ketika saya berada di sekolah dasar dengan percaya diri menjawab semua pertanyaan tersebut tetapi saat ini bibir seakan kelu menjawabnya.
Seseorang bisa menjadi lebih tertata hidupnya jika ia memiliki cita-cita dalam hidupnya. Bayangkan jika manusia tidak memiliki semua itu, mungkin hidup kita berjalan biasa saja. Pokonya saya hidup, bisa makan, bisa tidur, kerja kalau ada pekerjaan jika tidak ada pekerjaan ya tidak kerja, sekolah berjalan seperti biasa saja tanpa keinginan menjadi berprestasi. Bayangkan jika hal itu benar-benar terjadi pada buah hati kita atau bahkan pada diri kita sendiri. Apa yang bisa dibanggakan? Bangga boleh namun jangan terlalu bangga. Memiliki ambisi boleh namun terlalu berambisi juga tidak baik.
Manusia diciptakan dengan takdir, karakter, kemampuan, dan dari keluarga yang berbeda. Saat ini bukan zamannya pasrah pada takdir tetapi kita harus berusaha menjadi yang lebih baik sesuai dengan tingkat kemampuan kita. Jika orang lain bisa mengapa kita tidak, asalkan tetap berpegang teguh bahwa semua ini atas kehendak Allah Swt. Kita sudah berusaha semaksimal mungkin namun hasilnya tak seperti yang diharapkan, lantas kita marah? Jika kita sudah berusaha semaksimal mungkin tetapi belum membuahkan hasil sesuai dengan harapan, mungkin ada yang salah dari cara kita, niat kita, hati kita, kita juga harus percaya dengan qodho dan qhodar manusia.
Sesampai di rumah saya sampaikan kisah yang tadi siang terjadi di sekolah. Tidak ada bedanya dengan teman-teman. Ayah, ibu dan kakak juga melakukan hal yang sama. Menertawakan saya. “Adikku sayang, namanya cita-cita ya satu aja kalau banyak-banyak, terus bagaimana adik menjalani semua itu,” kata kakakku. “Ya terserah aku kak, aku yang punya cita-cita. Aku ‘kan juga ingin jadi guru biar pintar, ingin jadi dokter nanti bisa mengobati orang sakit, ingin jadi pilot biar bisa terbang, pokoknya banyak,” jawabku sedikit marah. Mengetahui perdebatanku dengan kakak, ayah dan ibu melerai.
Saat ini, jika diingatkan kembali pada kejadian tersebut membuat hati geli. Polosnya jawaban yang saya utarakan seakan-akan asal menjawab tanpa melihat dan memikirkan resikonya, kata orang jawa angger jeplak (asal bicara). Jika pertanyaan tersebut dipertanyakan saat ini, di usia saya hampir 24 tahun, mungkin saya sedikit berpikir cita-cita apa yang saya inginkan ketika saya sudah berusia sekian tahun. Lama saya merenung, mengapa ketika saya berada di sekolah dasar dengan percaya diri menjawab semua pertanyaan tersebut tetapi saat ini bibir seakan kelu menjawabnya.
Seseorang bisa menjadi lebih tertata hidupnya jika ia memiliki cita-cita dalam hidupnya. Bayangkan jika manusia tidak memiliki semua itu, mungkin hidup kita berjalan biasa saja. Pokonya saya hidup, bisa makan, bisa tidur, kerja kalau ada pekerjaan jika tidak ada pekerjaan ya tidak kerja, sekolah berjalan seperti biasa saja tanpa keinginan menjadi berprestasi. Bayangkan jika hal itu benar-benar terjadi pada buah hati kita atau bahkan pada diri kita sendiri. Apa yang bisa dibanggakan? Bangga boleh namun jangan terlalu bangga. Memiliki ambisi boleh namun terlalu berambisi juga tidak baik.
Manusia diciptakan dengan takdir, karakter, kemampuan, dan dari keluarga yang berbeda. Saat ini bukan zamannya pasrah pada takdir tetapi kita harus berusaha menjadi yang lebih baik sesuai dengan tingkat kemampuan kita. Jika orang lain bisa mengapa kita tidak, asalkan tetap berpegang teguh bahwa semua ini atas kehendak Allah Swt. Kita sudah berusaha semaksimal mungkin namun hasilnya tak seperti yang diharapkan, lantas kita marah? Jika kita sudah berusaha semaksimal mungkin tetapi belum membuahkan hasil sesuai dengan harapan, mungkin ada yang salah dari cara kita, niat kita, hati kita, kita juga harus percaya dengan qodho dan qhodar manusia.
Ketika masih kanak-kanak, kita boleh memiliki banyak cita-cita. Setelah menginjak remaja, kita belajar memfokuskan diri dengan satu cita-cita yang diinginkan, dan ketika menginjak dewasa harus telah memiliki cita-cita. Semoga ini mampu membuka wawasan kita menjadi manusia yang lebih baik. Saya menulis seperti ini bukan berarti saya sudah meraih cita-cita seperti yang saya harapkan. Melainkan saya juga masih belajar dan berusaha melawan pemikiran kerdil mengenai cita-cita.
Penulis

Post a Comment
Mari tinggalkan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan karena Tulisanmu Harimaumu. Komentar Sobat adalah Pendapat Pribadi, tidak mewakili Pendapat Redaksi Website Mentari News (WMN). Komentar yang mewakili redaksi Website Mentari News hanya melalui akun Mentari News. Selamat Berkomentar Sobat.. Salam Indonesia Berkemajuan.
Note: only a member of this blog may post a comment.