0

Web MentariNews.com -- Jakarta (02/04), Secara politis, kematian tersangka teroris Siyono adalah blunder Densus 88 Antiteror Polri. Kasus itu terjadi menjelang pembahasan revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di parlemen, April nanti. Medio Maret lalu, Siyono meregang nyawa di tangan anggota Densus 88 saat proses pengembangan penyidikan kepemilikan amunisi jaringan terorisme. Sebagaimana diberitakan, dalam draf revisi UU yang diajukan pemerintah kepada DPR, ada beberapa pasal yang memperkuat kewenangan polisi dalam operasi kontrateror.

Penguatan ini, antara lain, perpanjangan masa penangkapan dari tujuh hari menjadi 30 hari dan kewenangan untuk "menginternir" orang yang diduga terlibat jaringan terorisme selama enam bulan. Usulan ini ditentang sejumlah aktivis HAM lantaran berpotensi memicu penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan pelanggaran HAM. Kasus Siyono kian memperkuat argumentasi faktual penolakan terhadap pasal-pasal tersebut.

Dalam perspektif HAM, kematian Siyono bisa dikategorikan sebagai extrajudicial killing. Menurut Anne Lanfer, aktivis HAM Filipina, extrajudicial killing adalah pembunuhan yang dilakukan di luar sistem hukum tanpa keputusan pengadilan ("Observer: A Journal on threatened Human Rights Defenders in the Philippines", Vol 2/Number 2/2010). Tak sekadar blunder, kasus Siyono memunculkan kembali wacana pembubaran Densus 88 yang sempat meredup. Selama ini, alasan pembubaran adalah pelanggaran HAM oleh tim Densus 88 terhadap mereka yang baru berstatus "diduga" teroris. Selain penyiksaan selama proses pemeriksaan, beberapa orang bahkan tertembak mati saat operasi kontraterorisme, termasuk salah tembak terhadap warga sipil (non tersangka). Kendati dalam kasus Siyono dan juga kasus-kasus sebelumnya pihak Polri berkilah dengan fakta legal action dimana tersangka teroris melawan dan membahayakan nyawa polisi di lapangan. Sepanjang 2004 hingga 2015, sebanyak 102 polisi menjadi korban teroris kala operasi kontrateror (35 meninggal dan 67 luka-luka). Namun, fakta itu tak menyurutkan desakan pembubaran Densus 88. Apalagi, jika aksi "main tembak" itu didasari oleh emosi dan balas dendam.

Dalam hemat penulis, pembubaran Densus tak penting diperdebatkan dalam penanggulangan terorisme. Andai Densus dibubarkan, adakah jaminan kesatuan khusus antiterorisme penggantinya lebih menghormati prinsip HAM? Jika sekadar berganti "kemasan", pembubaran Densus sia-sia. Terlebih, prestasi kesatuan berlambang burung hantu itu juga tak boleh dimungkiri. Dalam laporan akhir tahun Polri, sepanjang 2015, Densus menangkap 65 tersangka teroris dan mencegah enam aksi terorisme. Banyak pakar menilai, Indonesia relatif sukses menanggulangi terorisme dengan paradigma penegakan hukum. Jika membaca laporan Open Society Foundations bertajuk "Globalizing Torture, CIA Secret Detention and Extraordinary Rendition" (2013), tentu kita jauh lebih miris.

Pascateror 9/11, Departemen Pertahanan Amerika Serikat melalui lembaga intelijen CIA menjalankan program penahanan rahasia. Siapapun, di manapun, dan kapan pun, buronan terorisme CIA dapat diculik dan ditahan tanpa syarat yang kebanyakan berujung di penjara terkucil Guantanamo Bay. Tak butuh perjanjian ekstradisi untuk memindahkan tersangka terorisme dari negara tertentu agar CIA leluasa memeriksa yang selalu disertai penyiksaan. Setidaknya, 136 orang dari pelbagai negara dilaporkan menjadi korban operasi ini, termasuk Hambali, warga negara Indonesia. Namun, jumlah itu tak bisa dipastikan kesahihannya lantaran Pemerintah AS menutup rapat program. Di Indonesia, kita masih bisa melakukan kritik terhadap kebijakan maupun operasi kontrateror negara kendati kerap terabaikan bak angin lalu.

Secara konseptual, paradigma penegakan hukum berguna meminimalisasi pelanggaran HAM terhadap tersangka teroris. Namun, sebagai instrumen negara dalam penanggulangan terorisme di level hilir, Densus 88 memang berwatak kuratif dan koersif. Karena itu, meski secara normatif SOP Densus 88 mewajibkan penghormatan prinsip HAM, tampaknya pelanggaran HAM sulit dihindari sepenuhnya. Densus 88 semestinya mempertanggungjawabkan kepada publik segala kesalahan prosedur, seperti salah tangkap, salah tembak, jumlah korban, kerugian material yang timbul akibat operasi, dan semacamnya. Dan, yang tak kalah penting adalah pertanggungjawaban kepada para korban. Sependek pengamatan saya, laporan akuntabilitas semacam itu tak pernah terdengar, bahkan saat rilis laporan akhir tahun Polri.

Maka, ketimbang pembubaran Densus, hal yang lebih penting didesakkan adalah transparansi dan akuntabilitas Densus dalam operasi kontrateror. Itulah yang mestinya harus dievaluasi dan diakomodasi dalam usulan revisi UU tentang pemberantasan terorisme. Sayangnya, aspek ini absen dalam draf yang diajukan pemerintah ke DPR. Tak ada klausul soal mekanisme kontrol publik terhadap kinerja Densus, pun tak ada aturan yang mewajibkan Densus (Polri) mempertanggungjawabkan setiap operasinya kepada publik. Sebagai upaya mendorong akuntabilitas Densus, revisi UU ini harus bersinergi dengan PP No 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam regulasi yang merevisi PP No 27 Tahun 1983 itu, setiap orang yang menjadi korban kesalahan prosedur penegakan hukum berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada negara hingga Rp 500 juta.

Klasifikasinya, korban luka ringan dapat menuntut maksimal Rp 100 juta, luka berat atau cacat permanen maksimal Rp 300 juta, dan meninggal maksimal Rp 600 juta. Nominal tersebut melonjak 100 kali lipat ketimbang aturan yang tertuang dalam PP No 27 Tahun 1983. Sejatinya, rehabilitasi terdakwa terorisme telah diatur dalam UU No 15 Tahun 2003. Namun, aturan itu tak berlaku bagi tersangka terorisme yang tidak sampai ke meja hijau. Padahal, dalam beberapa kasus, tersangka terorisme dikembalikan ke keluarganya dalam kondisi babak belur, bahkan meninggal seperti Siyono. Yurisprudensi pemberatan kompensasi salah prosedur penegakan hukum adalah amar putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan kasasi Polsekta Bukittinggi, Sumatra Barat. MA memutuskan agar Polri membayar ganti rugi kepada penggugat (keluarga korban) senilai Rp 700 ribu untuk kerugian materiil dan Rp 100 juta kerugian immaterial. Polsekta Bukittinggi dinilai melanggar hukum saat proses penyidikan kasus pencurian yang berujung kematian tersangka.

Semangat dari kenaikan kompensasi ini adalah meminimalisasi "aksi koboi" aparat saat operasi penegakan hukum, termasuk pemberantasan terorisme, demi penghormatan dan perlindungan HAM tersangka. Nominal kompensasi yang tinggi mestinya menjadi pressure anggota Densus 88 agar lebih meningkatkan profesionalitas dan akurasi sejak pengintaian hingga penindakan.

Ditulis Oleh:
M Syafiq Syeirozi (Peneliti Terorisme)
melalui Repunlika

Post a Comment

Mari tinggalkan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan karena Tulisanmu Harimaumu. Komentar Sobat adalah Pendapat Pribadi, tidak mewakili Pendapat Redaksi Website Mentari News (WMN). Komentar yang mewakili redaksi Website Mentari News hanya melalui akun Mentari News. Selamat Berkomentar Sobat.. Salam Indonesia Berkemajuan.

Note: only a member of this blog may post a comment.

 
Top