WMN 2015 -- Pendidikan dan Perjuangannya Prof. Dr. H.M. Rasjidi lahir di Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915. Masa kecilnya, masuk Sekolah Ongko Loro (setingkat SD sampai kelas 5) yang dilanjutkan di SD Muhammadiyah di Kotagede, dan Kweekschool Muhammadiyah.
Ia melanjutkan pelajaran di Perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyah yang diasuh Syekh Ahmad Surkati di Lawang, Jawa Timur. Pengembaraan intelektual di Timur Tengah dan di negara Barat menghasilkan kematangan Rasjidi sebagai ulama, mubaligh, pemikir, pengarang, dan guru besar.
Rasjidi menamatkan studi jurusan filsafat Universitas Cairo, Mesir. Meraih Doktor bidang filsafat dan agama pada Universitas Sarbonne Paris, tahun 1956. Pada 20 April 1968, Dr. H.M. Rasjidi dikukuhkan sebagai Guru Besar untuk Hukum Islam dan Lembaga-lembaga Islam pada Universitas Indonesia (UI).
Menurut Munawir Sjadzali (mantan Menteri Agama) dalam buku 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi, ada tiga sisi penting pada sosok Rasjidi, yaitu; Pertama, beliau adalah Menteri Agama RI yang pertama. Kedua, beliau adalah seorang pejuang kemerdekaan. Ketiga, beliau adalah seorang ilmuwan Islam dan cendekiawan muslim yang tangguh dan berwatak.
Sejarah mencatat peran Rasjidi sebagai peletak dasar Kementerian Agama. Dialah yang pertama menyusun organisasi, merekrut personil, merumuskan tujuan serta menentukan ruang lingkup tugas kementerian yang kini bernama Departemen Agama. Sebelumnya, tugas dan wewenang pemerintahan di bidang agama berada pada beberapa instansi, yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehakiman, dan Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebelum diangkat menjadi Menteri Agama, Rasjidi telah menjabat Menteri Negara yang mengurusi peribadatan dalam Kabinet Sjahrir I. Sebagai Menteri Agama di awal kemerdekaan, Rasjidi berangkat kerja ke kantor Kementerian Agama di Yogyakarta dengan mengayuh sepeda. Kemudian ada seorang yang bersedia meminjamkan mobilnya. Tapi ban mobil itu sudah tidak berfungsi lagi sehingga diisi rumput kering.
Kisah Menteri Agama ke kantor naik sepeda diceritakan oleh Ibu Rasjidi (istri almarhum HM Rasjidi) ketika saya silaturrahim ke kediaman beliau belum lama ini. Rasjidi mengemban tugas bersejarah sebagai orang pertama memimpin Kementerian Agama dalam Kabinet Sjahrir II. Seminggu setelah mengakhiri tugas Menteri Agama dalam kabinet yang berakhir 2 Oktober 1946, Rasjidi diangkat oleh Presiden sebagai Sekjen Kementerian Agama dan saat itu Menteri Agama K.H.R. Fatchurrahman Kafrawi.
Sebagai pejuang kemerdekaan, Rasjidi mengusahakan dukungan dari negeri-negeri Islam di Timur Tengah terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan diplomasi RI di Timur Tengah yang dilakukan Rasjidi dan kawan-kawan menghasilkan pengakuan kedaulatan dari hampir seluruh negara anggota Liga Arab terhadap Republik Indonesia sebelum negara-negara lain mengakui kemerdekaan kita.
Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah sementara dalam aktivitas ilmiah dan dakwah, Rasjidi diakui sebagai ilmuwan Islam yang besar dan berjasa membangkitkan etos intelektualisme Islam di Indonesia.
Hal mengesankan pada Rasjidi adalah keyakinannya yang mutlak terhadap kebenaran Islam dan penguasaan ilmu di bidang keislaman yang utuh dan lengkap serta ditunjang dengan wawasan dalam multidisiplin ilmu. Rasjidi pernah menjadi Kepala Perpustakaan Islam di Jakarta dan Sekretaris Senat Guru Besar Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII Yogyakarta) yang didirikan Bung Hatta bersama beberapa tokoh Islam lainnya.
Pada tahun 1950-an, Rasjidi diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Mesir merangkap Arab Saudi, kemudian Duta Besar RI untuk Iran merangkap Afghanistan, dan Duta Besar RI untuk Republik Islam Pakistan. Ketika merajalelanya sistem diktator di Indonesia masa rejim Soekarno (Orde Lama), ia bermukim di luar negeri untuk belajar dan mengajar pada Institute of Islamic Studies, di Mc Gill University, Montreal, Canada.
Rasjidi salah satu pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia bersama Moh. Natsir. Selain itu dia adalah Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya, Kepala Perwakilan Rabithah Alam Al Islami di Indonesia, dan anggota Dewan Pertimbangan MUI Pusat.
Dalam sejarah pengembangan perguruan tinggi Islam khususnya IAIN, Rasjidi adalah tokoh yang berjasa merintis dan membimbing studi purnasarjana bagi dosen-dosen IAIN di Jakarta yang menjadi cikal bakal program pascasarjana IAIN/UIN sekarang. Sementara itu sejak tahun 70-an Rasjidi pernah mengingatkan betapa bahaya penggunaan metode orientalis dalam studi Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam khususnya IAIN. Menurut beliau, metode orientalis akan mengikis otentisitas keilmuwan Islam yang selama ini dipertahankan. Bahkan ada hal-hal terselubung yang berbahaya memudarkan keimanan. Ide sekularisasi yang diusung Nurcholish Madjid dan kawan-kawan di awal dekade 1970-an mendapat kritikan hebat dari Rasjidi. Menurutnya, sekularisasi pada akhirnya akan menghasilkan sekularisme juga yang bertentangan dengan Islam.
Pada awal tahun 1970-an, umat Islam Indonesia mengerahkan segala daya upaya untuk menggagalkan RUU Perkawinan sekuler yang diajukan pemerintah ke DPR ketika itu. HM Rasjidi, dalam artikelnya di Harian Abadi edisi 20 Agustus 1973, menyorot secara tajam RUU Perkawinan tersebut yang antara lain dalam salah satu pasalnya menyatakan, perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan. Kegigihan Rasjidi sebagai muslim yang commited membela kepentingan Islam terkenal hingga mancanegara.
Tatkala menjadi duta Konperensi Internasional Misi Kristen dan Dakwah Islam di Chambesy, Juni 1976, Rasjidi mendesak gereja Kristen dan organisasi agama tersebut untuk menghentikan kegiatan Kristenisasi yang tidak pada tempatnya di dunia Islam. Pada konperensi itu beliau memaparkan data kegiatan misi Kristen yang merugikan umat Islam di Indonesia. Tokoh yang hafal Al Quran itu dikenang sebagai sosok ulama-intelektual yang istiqamah mengawal akidah umat terhadap bahaya sekularisme, liberalisme, dan pemurtadan.
Semasa hidupnya Prof. Dr. H.M. Rasjidi telah mempublikasikan karya-karya yang cukup banyak dalam bentuk artikel, makalah, orasi maupun dalam bentuk buku. Buku-buku yang ditulisnya, antara lain:
Saya bersyukur dapat berkenalan dengan Pak Rasjidi di usianya yang telah lanjut sebelum berpulang ke rahmatullah. Pada hemat saya, keteguhan memegang prinsip, integritas ilmiah, kejujuran, kesalehan pribadi, serta kepedulian yang tinggi terhadap permasalahan umat dan bangsa merupakan mozaik keteladanan berharga yang ditinggalkan Pak Rasjidi buat generasi. (wmn/webkemenag)
Ia melanjutkan pelajaran di Perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyah yang diasuh Syekh Ahmad Surkati di Lawang, Jawa Timur. Pengembaraan intelektual di Timur Tengah dan di negara Barat menghasilkan kematangan Rasjidi sebagai ulama, mubaligh, pemikir, pengarang, dan guru besar.
Rasjidi menamatkan studi jurusan filsafat Universitas Cairo, Mesir. Meraih Doktor bidang filsafat dan agama pada Universitas Sarbonne Paris, tahun 1956. Pada 20 April 1968, Dr. H.M. Rasjidi dikukuhkan sebagai Guru Besar untuk Hukum Islam dan Lembaga-lembaga Islam pada Universitas Indonesia (UI).
Menurut Munawir Sjadzali (mantan Menteri Agama) dalam buku 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi, ada tiga sisi penting pada sosok Rasjidi, yaitu; Pertama, beliau adalah Menteri Agama RI yang pertama. Kedua, beliau adalah seorang pejuang kemerdekaan. Ketiga, beliau adalah seorang ilmuwan Islam dan cendekiawan muslim yang tangguh dan berwatak.
Sejarah mencatat peran Rasjidi sebagai peletak dasar Kementerian Agama. Dialah yang pertama menyusun organisasi, merekrut personil, merumuskan tujuan serta menentukan ruang lingkup tugas kementerian yang kini bernama Departemen Agama. Sebelumnya, tugas dan wewenang pemerintahan di bidang agama berada pada beberapa instansi, yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehakiman, dan Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebelum diangkat menjadi Menteri Agama, Rasjidi telah menjabat Menteri Negara yang mengurusi peribadatan dalam Kabinet Sjahrir I. Sebagai Menteri Agama di awal kemerdekaan, Rasjidi berangkat kerja ke kantor Kementerian Agama di Yogyakarta dengan mengayuh sepeda. Kemudian ada seorang yang bersedia meminjamkan mobilnya. Tapi ban mobil itu sudah tidak berfungsi lagi sehingga diisi rumput kering.
Kisah Menteri Agama ke kantor naik sepeda diceritakan oleh Ibu Rasjidi (istri almarhum HM Rasjidi) ketika saya silaturrahim ke kediaman beliau belum lama ini. Rasjidi mengemban tugas bersejarah sebagai orang pertama memimpin Kementerian Agama dalam Kabinet Sjahrir II. Seminggu setelah mengakhiri tugas Menteri Agama dalam kabinet yang berakhir 2 Oktober 1946, Rasjidi diangkat oleh Presiden sebagai Sekjen Kementerian Agama dan saat itu Menteri Agama K.H.R. Fatchurrahman Kafrawi.
Sebagai pejuang kemerdekaan, Rasjidi mengusahakan dukungan dari negeri-negeri Islam di Timur Tengah terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan diplomasi RI di Timur Tengah yang dilakukan Rasjidi dan kawan-kawan menghasilkan pengakuan kedaulatan dari hampir seluruh negara anggota Liga Arab terhadap Republik Indonesia sebelum negara-negara lain mengakui kemerdekaan kita.
Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah sementara dalam aktivitas ilmiah dan dakwah, Rasjidi diakui sebagai ilmuwan Islam yang besar dan berjasa membangkitkan etos intelektualisme Islam di Indonesia.
Hal mengesankan pada Rasjidi adalah keyakinannya yang mutlak terhadap kebenaran Islam dan penguasaan ilmu di bidang keislaman yang utuh dan lengkap serta ditunjang dengan wawasan dalam multidisiplin ilmu. Rasjidi pernah menjadi Kepala Perpustakaan Islam di Jakarta dan Sekretaris Senat Guru Besar Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII Yogyakarta) yang didirikan Bung Hatta bersama beberapa tokoh Islam lainnya.
Pada tahun 1950-an, Rasjidi diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Mesir merangkap Arab Saudi, kemudian Duta Besar RI untuk Iran merangkap Afghanistan, dan Duta Besar RI untuk Republik Islam Pakistan. Ketika merajalelanya sistem diktator di Indonesia masa rejim Soekarno (Orde Lama), ia bermukim di luar negeri untuk belajar dan mengajar pada Institute of Islamic Studies, di Mc Gill University, Montreal, Canada.
Rasjidi salah satu pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia bersama Moh. Natsir. Selain itu dia adalah Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya, Kepala Perwakilan Rabithah Alam Al Islami di Indonesia, dan anggota Dewan Pertimbangan MUI Pusat.
Dalam sejarah pengembangan perguruan tinggi Islam khususnya IAIN, Rasjidi adalah tokoh yang berjasa merintis dan membimbing studi purnasarjana bagi dosen-dosen IAIN di Jakarta yang menjadi cikal bakal program pascasarjana IAIN/UIN sekarang. Sementara itu sejak tahun 70-an Rasjidi pernah mengingatkan betapa bahaya penggunaan metode orientalis dalam studi Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam khususnya IAIN. Menurut beliau, metode orientalis akan mengikis otentisitas keilmuwan Islam yang selama ini dipertahankan. Bahkan ada hal-hal terselubung yang berbahaya memudarkan keimanan. Ide sekularisasi yang diusung Nurcholish Madjid dan kawan-kawan di awal dekade 1970-an mendapat kritikan hebat dari Rasjidi. Menurutnya, sekularisasi pada akhirnya akan menghasilkan sekularisme juga yang bertentangan dengan Islam.
Pada awal tahun 1970-an, umat Islam Indonesia mengerahkan segala daya upaya untuk menggagalkan RUU Perkawinan sekuler yang diajukan pemerintah ke DPR ketika itu. HM Rasjidi, dalam artikelnya di Harian Abadi edisi 20 Agustus 1973, menyorot secara tajam RUU Perkawinan tersebut yang antara lain dalam salah satu pasalnya menyatakan, perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan. Kegigihan Rasjidi sebagai muslim yang commited membela kepentingan Islam terkenal hingga mancanegara.
Tatkala menjadi duta Konperensi Internasional Misi Kristen dan Dakwah Islam di Chambesy, Juni 1976, Rasjidi mendesak gereja Kristen dan organisasi agama tersebut untuk menghentikan kegiatan Kristenisasi yang tidak pada tempatnya di dunia Islam. Pada konperensi itu beliau memaparkan data kegiatan misi Kristen yang merugikan umat Islam di Indonesia. Tokoh yang hafal Al Quran itu dikenang sebagai sosok ulama-intelektual yang istiqamah mengawal akidah umat terhadap bahaya sekularisme, liberalisme, dan pemurtadan.
Semasa hidupnya Prof. Dr. H.M. Rasjidi telah mempublikasikan karya-karya yang cukup banyak dalam bentuk artikel, makalah, orasi maupun dalam bentuk buku. Buku-buku yang ditulisnya, antara lain:
- Filsafat Agama
- Agama dan Etik
- Islam dan Sosialisme
- Islam Menentang Komunisme
- Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam?
- Islam dan Indonesia Di Zaman Modern,
- Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi
- Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya
- Keutamaan Hukum Islam
- Empat Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi
- Sikap Umat Islam Indonesia Terhadap Ekspansi Kristen
- Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen
- Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia di Jakarta 1975 artinya Bagi Dunia Islam
- Dari Rasjidi dan Maududi kepada Paus Paulus VI
- Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional (tanggapan terhadap tulisan AMW Pranarka)
- Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam Sejarah
- Islam dan Nasionalisme Indonesia
- Apa itu Syi’ah?
- Hendak Dibawa Kemana Umat Ini?
- Bible Quran dan Sains Modern (Maurice Bucaille)
- Humanisme dalam Islam (Marcel A.Boisard)
- Janji-Janji Islam (Roger Garaudy)
- Persoalan-Persoalan Filsafat (Harold A. Titus)
Saya bersyukur dapat berkenalan dengan Pak Rasjidi di usianya yang telah lanjut sebelum berpulang ke rahmatullah. Pada hemat saya, keteguhan memegang prinsip, integritas ilmiah, kejujuran, kesalehan pribadi, serta kepedulian yang tinggi terhadap permasalahan umat dan bangsa merupakan mozaik keteladanan berharga yang ditinggalkan Pak Rasjidi buat generasi. (wmn/webkemenag)


Post a Comment
Mari tinggalkan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan karena Tulisanmu Harimaumu. Komentar Sobat adalah Pendapat Pribadi, tidak mewakili Pendapat Redaksi Website Mentari News (WMN). Komentar yang mewakili redaksi Website Mentari News hanya melalui akun Mentari News. Selamat Berkomentar Sobat.. Salam Indonesia Berkemajuan.
Note: only a member of this blog may post a comment.